Secara etimologi intervensi merupakan campur tangan pihak ketiga
diantara kedua belah pihak yang sedang bersengketa. Dalam praktik hukum acara
perdata, intervensi dalam gugatan merupakan perbuatan hukum oleh pihak ketiga
yang mempunyai kepentingan dalam gugatan tersebut dengan jalan melibatkan diri
atau dilibatkan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata yang sedang
berlangsung. Pihak intervensi tersebut dapat berperan sebagai penggugat
intervensi atau sebagai tergugat intervensi.
Intervensi dalam pemeriksaan perkara perdata juga bisa dikatakan
sebagai “ikut sertanya pihak ketiga atas inisiatif sendiri, maupun karena
ditarik masuk oleh salah satu pihak untuk ikut menanggung dalam pemeriksaan
sengketa perkara perdata.” Proses sengketa perkara perdata dimungkinkan akan terjadi lebih dari satu pihak
(kumulasi subyektif), paling sedikit yang terlibat harus dua pihak yaitu pihak
penggungat dan pihak penggungat. Kadang-kadang ada pihak ketiga yang ikut serta
dalam perkara perdata. Keterlibatan pihak ketiga tersebut karena inisiatif
sendiri atau juga karena ditarik masuk oleh salah satu pihak untuk ikut
menanggung dalam pemeriksaan sengketa perkara perdata.
Bentuk acara ini pada dasarnya tidak diatur dalam Herzien
Inlandsch Reglement (HIR), Rechtsreglement Buitengewesten (RBg)
maupun dalam Undang-Undang Nomor 7 Tentang Peradilan melainkan diatur dalam
pasal 279-282 Reglement of de Rechtsvordering (Rv) yang sekarang tidak
berlaku lagi. Sementara ketentuan ikut sertanya pihak ketiga telah dijelaskan dalam
Undang-Undang No. 05 Tahun 1986 pasal 83 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam pasal tersebut mengatur mekanisme kemungkinan adanya pihak ketiga dalam
pemeriksaan perkara yang sedang berlangsung.
Meskipun pada kenyataannya acara intervensi ini dibutuhkan,
sehingga lembaga intervensi ini digunakan sebagai peranan hakim dalam
pemerikasaan di pengadilan. Dengan demikian, intervensi dalam hukum acara
perdata di pengadilan berjalan dengan tanpa peraturan yang tertulis.
Prinsip dalam berperkara dalam tiga pihak pada dasarnya tidak ada larangan secara hukum yang dapat mengatur bahwa pihak ketiga tidak dapat ikut serta dalam proses perkara perdata. Misalnya dalam masalah utang piutang, ada beberapa kemungkinan diantaranya:
- Pihak ketiga memiliki kewenangan dalam proses perkara karena terikat dalam kepemilikan objek perjanjian;
- Pihak ketiga merupakan salah satu orang yang dirugikan apabila pihaknya dikalahkan dalam perkara perdata;
- Kesalahan pada awal pembuatan perjanjian yang kedua belah pihak telah menyangkut-pautkan dengan pihak ketiga, sehingga dikemudian hari apabila ada permasalahan dalam isi perjanjian pihak ketiga berhak ikut dalam perkara khusunya apabila perkara sampai ke pengadilan.
No comments:
Post a Comment