Di era
modern ini, banyak menimpa kehidupan manusia, mulai dari krisis sosial, krisis
struktural, sampai krisis spiritual. Semuanya bermuara pada persoalan makna
hidup manusia. Modernisasi dengan segenap kemajuan teknologi dan pesatnya
industrialisasi membuat manusia kehilangan orientasi terhadap spiritualnya.
Kekayaan materi kian menumpuk, tetapi mengalami kekosongan. Seiring dengan
logika dan orientasi yang kian modern, kerja dan materi lantas menjadi
aktualisasi kehidupan masyarakat. Gagasan tentang makna hidup menjadi
berantakan. Akibatnya, manusia ibarat sebuah mesin. Semuanya diukur atas dasar
materi. Manusiapun makin terbawa arus deras desakralisasi dan dehumanisasi.
Proses
modernisasi yang makin meluas di abat modern, kini telah mengantarkan hidup
manusia menjadi lebih materialistik dan individualistik. Perkembangan
industrialisasi dan ekonomi yang demikian pesat, telah menempatkan manusia
modern ini menjadi manusia yang tidak lagi memiliki pribadi yang merdeka, hidup
mereka sudah diatur oleh otomatisasi mesin yang serba mekanis, sehingga
kegiatan sehari-haripun sudah terjebak alur rutinitas yang menjemukan.
Akibatnya manusia sudah tidak acuh lagi, kalau peran agama makin tergeser oleh
kepentingan duniawi.[1]
Hal
negatif dari modernitas inilah yang menjadi salah satu pemicu bagi tumbuhnya
hasrat pada spiritualisme-di barat disebut non-organized religion, sedangkan di
timur disebut dengan sejumlah nama: “kebijakan timur”, “spiritualisme timur”,
hingga spiritualisme Islam dengan dimensi tasawufnya. Ketika seluruh kehidupan
begitu melelahkan, kebudayaan melahirkan kegersangan ruhaniah. Spiritualisme
menjadi sangat digemari oleh mereka yang dahulu menolak prinsip-prinsip ruhani
dalam hidup. Manusia lantas menggemari kearifan tradisional (traditional wisdom), mengembalikan
nilai-nilai kemanusiaan pada dimensi fitrahnya, yang menebar harum semerbak
hidup bermakna. Dalam Islam, tasawufpun kemudian menjadi primadona.
Namun
yang perlu digarisbawahi, dalam fenomena mewabahnya kegairahan pada
spiritualisme dan tasawuf (sufism) ini, dampak sampingan bisa saja muncul. Dan itu
bahkan cukup menghawatirkan. Bisa saja kesemarakan ini hanya melihat tasawuf
sebagai “sampingan” bagi dunia modern. Demikian pula, tasawuf bisa saja
diposisikan sebagai “medium terapi atau pengobatan” bagi korban krisis modernitas.
Terlebih lagi, tasawuf tereduksi Cuma menjadi tren atau gaya hidup baru di
kalangan menengah keatas. Apabila tasawuf hanya diobsesikan seperti itu, yakni
sebagai tempat pelarian dari hal negatif modernitas, ia akan ditinggalkan oelh
peminatnya manakala modernitas pada suatu saat nanti dapat mengatasi hal-hal
negatif dalam dirinya.
Namun,
apa yang bisa dikatakan disini adalah bahwa baik spiritualitas maupun tasawuf
sama-sama menggerakkan potensi diri manusia kepada sesuatu yang lebih baik
bermoral potensi-potensi inilah yang akan memberikan makna tertentu dalam suatu
tindakan. Akan tetapi, spiritualitas tidak mesti memiliki kaitan dangan sesuatu
yang bersifat ilahiah, spiritualitas bisa sekadar berfungsi sebagai pelarian
psikologis, sebagai sebuah obsesi akan kebutuhan ruhaniah sesaat, dan bisa pula
sekadar memenuhi ambisi untuk mencari ketenangan sementara.
Tasawuf
saat ini berusaha menampilkan visi keagamaan yang jelas. Yang mengarahkan diri
untuk melaupaui kedirian dan egoisme. Ia adalah sebuah visi yang tepat dalam
menafsirkan dunia serta alam lain di luar dunia ini yang mungkin ada dan
melingkupi seluruh realiatas. Selain itu, ia juga sebagai sebuah visi tentang
suatu tatanan ideal masyarakat. Dengan demikian tasawuf adalah sebuah komitmen
yang lebih besar dari pada sekadar pemuasan kepentingan egoisme pribadi dan
spiritualitas pribadi semata, Dan sebuah obsesi yang lebih tinggi dari pada
sekadar pemahaman hidup di dunia yang bersifat materil. Dan karena tasawuf
merupakan bagian dari ajaran Islam itu sendiri, Ia dapat memenuhi hasrat hidup
manusia seutuhnya dari pada janji-janji spiritualisme yang hanya sekejap dan
temporer.
Tasawuf
bukan hanya sebuah visi untuk memahami realitas alam, melainkan sebuah aksi
untuk memahami eksistensi hidup dari tingkat yang paling rendah hingga yang
paling tinggi, Yaitu kehadiran Ilahiah (dikenal dengan sebutan tajalli,
Penampakan Transendental/abstrak).[2]
No comments:
Post a Comment