A. PENGERTIAN TAKHRIJ HADITS
Pada pembahasan ini akan disebutkan
definisi takhrij menurut bahasa, istilah beberapa ahli Hadits dan menurut
istilah.
1.
Menurut
Bahasa
Takhrij menurut arti bahasa ialah:
اِجْتِمَاعُ اَمْرَيْنِ مُتَضَادَيْنِ فِى
شَيْءٍ وَاحِدٍ
Artinya: “Kumpulan
dua perkara yang saling berlawanan dalam satu masalah.”
Hal
ini sebagaimana tersebut dalam kamus:
a.
وعام
فيه تخريج,
yang berarti حسب dan جدب yang bermakna subur dan menarik.
b.
وارض
مخرجة,
(seperti bentuk kata: منقشة), yang berarti tanaman bumi yang
terpisah-pisah.
c.
وخرّج
اللوح تخريجا, yang berarti menulis sebagian dan meninggalkan yang lain.
Takhrij
ini dapat diartikan juga dalam beberapa arti, dan yang paling populer
diantaranya adalah:
a.
ستنباط الإ: mengeluarkan, sebagaimana kata-kata dalam
kamus:الاستخراج dan الاختراج yang berarti mengeluarkan.[2]
b.
التدريب meneliti, sebagaimana kata-kata dalam kamus: فى الادب خرّجه فتخرّج yang berarti: خريج dengan bentuk isim maf’ul yang berarti
sesuatu yang dikeluarkan.[3]
c.
التوجيه : menerangkan, sebagaimana perkataan المسألة
خرّج yang berarti وجّهها artinya
menjelaskan masalah dari satu segi.
2.
Menurut
Istilah Ahli Hadits
Takhrij
menurut ahli hadits, mempunyai pengertian sebagai berikut:
a.
Sinonim
(muradif) kata : الاخراج yang berarti menjelaskan hadits pada orang
lain dengan menyebutkan mukhrijnya, yaitu para perawi dalam sanad hadits,
dimana suatu hadits keluar dari jalan mereka.
b.
Mengeluarkan
dan meriwayatkan hadits dari beberapa kitab. Dalam kitab Fathul Mugis,
As-Sakhawi menyebutkan, Takhrij adalah periwayatan seorang ahli hadits terhadap
satu hadits dari beberapa juz, guru, kitab dan sesamanya. Baik dari riwayatnya
sendiri, sebagian guru, teman atau sesamanya. Membicarakannya atau
menisbatkannya pada orang yang meriwayatkannya, yaitu para imam yang mempunyai
kitab dan kodifikasi hadits.[4]
c.
Ad-Dilalah, artinya menunjukan kitab-kitab sumber hadits dan menisbatkan
dengan cara menyebutkan para rawinya, yaitu para pengarang kitab-kitab sumber
hadits tersebut.
3.
Menurut
Istilah
Takhrij menurut
istilah ialah :
اَلدِّلاَلَةُ
عَلَى مَوْضِعِ الْحَدِيْثِ فِى مَصَادِرِهِ الْاصْلِيَةِ اَلَّتِى اَخْرَجَتْهُ
بِسَنَدِهِ ثُمَّ بَيَانِ مَرْتَبَتَهِ عِنْدَ الْحَاجَةَ.
Artinya:“Menunjukkan
tempat hadits pada sumber-sumber aslinya, dimana hadits tersebut telah
diriwayatkan lengkap dengan sanadnya, kemudian menjelaskan derajat jika
diperlukan.”
a)
Menunjukkan
tempat hadits, berarti menyebutkan kitab-kitab tempat hadits tersebut.
b)
Sumber-sumber
asli hadits ialah :
1.
Kitab-kitab
hadits yang di himpun para pengarang dengan cara yang diterima dari
guru-gurunya dan lengkap dengan sanad-sanadnya sampai kepada Nabi muhammad SAW.
Seperti kitab hadits enam.
2.
Kitab-kitab
hadits pengikut (tabi’) kitab-kitab hadits pokok diatas, seperti kitab-kitab
yang menghimpun kitab-kitab hadits diatas. Seperti kitab Al jam’u baina
Shohihaini.
3.
Kiat-kitab
selain hadits, misalnya kitab tafsir, fikih dan sejarah.
c)
Menjelaskan
derajat (nilai) hadits ketika diperlukan. Maksudnya menjelaskan nilai, baik
shahih, dlaif dan sesamanya jika diperlukan. Karena itu, menjelaskan nilai
hadits tidaj merupakan hal yang mendasar dalam menakhrij hadits, melainkan
hanya penyempurna yang harus dipenuhi ketika diperlukan.[5]
S B. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TAKHRIJ HADITS
Dikatakan
oleh Mahmud at-Thahhan bahwa para peminat hadits saat itu dengan mudah merujuk
pada kitab-kitab sangat kuat. Keadaan ini berubah pada abad-abad berikutnya
yang disebabkan oleh semakin berkurangnya intensitas kajian terhadap
kitab-kitab sumber aslinya. Ketika itu mereka mengalami kesulitan mengetahui
letak hadits pada kitab sumber aslinya jika mendapat hadits-hadits itu
dipergunakan sebagai argumen penguat dalam disiplin ilmu-ilmu lain. Dalam
kitab-kitab hadits dikutip tanpa menyebutkan sumber pengambilannya. dalam
kitab-kitab itu hadits-hadits dikutip tanpa menyebutkan sumber pengambilannya.
Oleh karena itu kemudian bangkitlah para ulama untuk melakukan takhrij hadits
terhadap kitab-kitab tersebut.
Diantara kitab-kitab Takhrij terdapat hadits-hadits yang dikutip
dari beberapa kitab tanpa sanad adalah:
1.
Nash
ar-Rayah li Ahadits al-Hidayah,
oleh al-Hafiz az-Zaila’iy w. 162 H.
2.
Takhrij
Ahadis al-Kasysyaf, juga oleh
az-Zaila’iy.
Prof. Hasbi ash-Shiddiqy menegaskan bahwa kegiatan takhrij hadits
setidaknya telah muncul pada abad 8 H.[6]
Sebenarnya dapat ditemukan sebelum itu karya takhrij lain, yaitu Takhrij
Ahadis al-Muhadzdzab, oleh Muhammad bin Musa al-Hazimy w. 584 H.
Meskipun kegiatan takhrij hadits sudah banyak dilakukan oleh para
ulama hadits, tetapi pembukuan ilmu ini sebagai ilmu baru dan terkodifikasi
baru pada akhir abad ke-XIV H atau abad ke-XX M.[7]
Faktor utama yang menyebabkan kegiatan penelitian hadits (takhrij hadits) adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui asal-usul riwayat hadits yang akan diteliti.
Hal
ini dilakukan demi mengetahui status dan kualitas hadits yang akan diteliti.
Seorang peneliti tidak akan bisa melakukan penelitian dengan baik dan cermat
tanpa mengetahui secara benar sanad dan matan hadits yang sesuai dengan sumber
pengambilannya.
2.
Untuk
mengetahui dan mencatat seluruh periwayatan hadits yang akan diteliti.
Untuk
memperoleh kepastian atas dlaif atau shahihnya sebuah sanad, seorang pentakhrij
harus mengetahui seluruh para perawi hadits yang sedang ditakhrij, boleh jadi
salah satu sanad hadits tersebut berkualitas dlaif, sedang sanad yang lain
berkualitas shahih.
3.
Mengetahui
ada tidaknya syahid dan mutabi’
Sebuah hadits bisa naik derajatnya
apabila ditemukan adanya mutabi’ dan syahid, semua sanad hadits yang sanadnya
bervariasi harus dikumpulkan, karena bisa jadi salah satunya merupakan syahid
dan mutabi’ bagi hadits yang sedang ditakhrij.[8]
D.
METODE TAKHRIJ HADITS
Apabila menakhrij hadits hendaknya
terlebih dahulu harus mempelajari keadaan hadits yang dimaksud, sebelum
meneliti dalam kitab-kitab hadits.
Metode pentakhrijan hadits tidak
lebih dari lima macam, yaitu:
1.
Takhrij dengan Mengetahui Sahabat yang Meriwayatkan Hadits
Metode takhrij dengan mengikuti sistem
pengelompokkan hadits atas dasar nama sahabat yang meriwayatkannya. Metode ini
mutlak diperlukan pengetahuan tentang nama sahabat perawi hadits itu.
Ada
tiga macam referensi yang dapat digunakan dalam menggunakan metode ini, yaitu:
a.
Kitab-kitab al-Musnad
Kitab musnad adalah kitab-kitab
hadits yang disusun berdasarkan urutan nama-nama perawi pertama dengan
mengumpulkan hadits-hadits yang diriwayatkannya dalam satu kelompok.
Diantara kitab
kitab musnad ini adalah:
1.
Musnad
Abi Bakr Abdullah bin al-Zubair al-Humaidiy w. 219 H
2.
Musnad
Ahmad bin Hanbal w. 241 H
3.
Musnad
Abi Ishaq Ibrahim bin Nashr
4.
Musnad
Abi Dawud Sulaiman bin Dawud at-Thayalisiy w. 204 H
5.
Musnad
Asad bin Musa al-Umawy
6.
Musnad
Abi Khaitsamah Zubair bin Harb
7.
dan
lain sebagainya
Cara
mencari hadits dalam musnad ini adalah pertama-tama cari dahulu nama sahabat
perawi hadits itu. Setelah nama sahabat yang bersangkutan ditemukan, lalu kita
teliti dengan cermat satu persatu hadits yang tercatat dibawah nama tersebut.
Jika hadits yang dicari tidak ditemukan dibawah nama sahabat yang bersangkutan,
berarti pengarang tidak meriwayatkan dalam musnadnya.
b.
Kitab-kitab al-Mu’jam
Mu’jam
adalah kitab hadits yang disusun menurut nama-nama sahabat, guru atau kabilah
dan nama-nama tersebut diurutkan secara alfabetis (huruf al-mu’jam).
Kitab-kitab
Mu’jam yang terkenal adalah:
1.
Al-Mu’jam
Al-Kabir karangan Abul Qasim Sulaiman bin
Ahmad al-Thabaraniy w. 360 H
2.
Al-Mu’jam
Al-Ausath karangan Abul Qasim
3.
Al-mu’jam
As-Shaghir karangan Abul Qasim
4.
Mu’jam
As-Shahabah karangan Ahmad
bin Ali al-Hamadaniy w. 374 H
c.
Kitab-kitab al-Athraf
Kitab
al-Athraf adalah kitab yang disusun dengan cara menyebutkan permulaan bunyi
hadits yang mengindikasikan bunyi selanjutnya, namun diantara kitab-kitab itu
ada juga yang menyebutkan matan-matannya secara lengkap. Adapun urutan
nama-nama sahabat dimaksud disusun berdasarkan urutan Alfabetis.
Diantara
kitab-kitab al-Athraf yang penting adalah:
1.
Athraf
as-Shahihain karangan Abu
Mas’ud Ibrahim bin Muhammad al-Dimisyqiy w. 401 H
2.
Al-Asyraf
‘ala. Ma’rifati al-Asyraf karangan
al-Hafidz Abu Qasim Ali bin Hasan yang dikenal dengan Ibnu Asakir al-Dimisyqiy
w. 671 H
3.
Tuhfat
al-Asyraf bi Ma’rifati al-Asyraf
atau Athraf al-Kutub as-Sittah karangan Abu al-Hajjaj Yusuf Abdurrahman
al-Mizsy w. 742 H.[10]
Kelebihan
dari metode ini:[11]
a. Dikemukakannya banyak jalan untuk matan yang sama
b. Memudahkan menghafal menghafal dan mengingat hadits
hadits yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu.
c. Dapat dengan cepat diketahui semua hadits yang diriwayatkan oleh
sahabat tertentu dengan sanad dan matan secara lengkap.
Kekurangan
metode ini:
a.
Metode
ini tidak bisa digunakan jika nama sahabat yang meriwayatkannya tidak diketahui
b.
Untuk
menemukan hadits tertentu yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu membutuhkan
waktu yang relatif lama, sebab pada umumnya sahabat tidak hanya meriwayatkan
satu dua hadits saja.[12]
2.
Takhrij Melalui Kata-kata dalam Matan Hadits
Takhrij dengan metode ini tergantung
pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadits, baik berupa isim atau fiil.
Huruf-huruf tidak digunakan pada metode ini, hadits-hadits yang dicantumkan
hanyalah bagian hadits. Adapun ulama-ulama yang meriwayatkannya dan nama
kitab-kitab induknya dicantumkan dibawah potongan hadits-haditsnya.
Kitab yang terkenal dalam metode
takkhrij ini adalah kitab al-Mu’jam al-Mufahras yang disusun oleh beberapa
orientalis.
Kelebiha n dari metode ini:
a.
Metode
ini mempercepat pencarian hadits-hadits
b.
Memungkinkan
pencarian hadits melalui kata-kata apa saja yang terdapat dalam matan hadits
c.
Para
penyusun kitab-kitab takhrij dengan metode ini membatasi haditsnya dalam
beberapa kitab-kitab induk dengan menyebutkan nama kitab, juz, bab dan halaman.
Kekurangan metode ini:
a.
Keharusan
memiliki kemampuan Bahasa Arab beserta perangkat ilmu yang memadai
b.
Metode
ini tidak menyebutkan perawi dari kalangan sahabat
c.
Hanya
merujuk kepada sembilan kitab tertentu.[13]
3.
Takhrij Melalui Lafal Pertama Matan Hadits
Metode
ini dipakai apabila permulaan hadits dapat diketahui dengan tepat. Tanpa
mengetahui lafal pertama hadits metode ini sama sekali tidak dapat digunakan.
Jenis-jenis
kitab yang dapat dipakai dengan metode ini dapat diklasifikasikan menjadi:[14]
a.
Kitab-kitab
tentang hadits yang populer di masyarakat, seperti kitab at-Tazkirah fi
al-Ahadits al-Musytahirah karangan Badruddin Muhammad bin Abdullah
az-Zarkasyi. Kitab jenis ini dikhususkan pada hadits-hadits yang populer di
masyarakat.
b.
Kitab-kitab
hadits yang hadits-haditsnya disusun secara alfabetis. Kitab jenis ini yang
paling banyak beredar adalah karangan as-Suyuthi w. 911 H, yang berjudul al-Jami’
ash-Shagir min Ahadis al-Basyir an-Nazir.
c.
Kunci-kunci
dan indeks yang dibuat dalam kitab-kitab tertentu. Beberapa ulama telah membuat
kunci-kunci daftar atau indeks untuk mempermudah mencari hadits dalam
kitab-kitab tersebut. Diantara kitab-kitab ini adalah Miftah ash-Shahihain karangan
al-Tauqidiy.
Kelebihan dan Kekurangan metode ini
adalah kemungkinan besar kita dapat cepat menemukan hadits-hadits yang
dimaksud. Hanya saja bila terdapat kelainan lafal pertama meski hanya sedikit
akan berakibat sulit menemukan hadits.[15]
4.
Takhrij Melalui Tema Hadits
Dalam
mentakhrij dengan menggunakan metode ini diperlukan kitab-kitab hadits yang
tersusun berdasarkan bab-bab dan topik-topik. Kitab jenis ini banyak sekali dan
dapat dibagi menjadi tiga kelompok:
a.
Kitab
yang berisi seluruk tema agama, yaitu kitab al-Jawami’ berikut dengan mustakhraj
dan mustadraknya, al-Majami’, al-Zawaid dan secara khusus
kitab Miftah Kunuz as-Sunnah.
b.
Kitab-kitab
yang berisi sebagian banyak tema-tema agama, yaitu kitab-kitab sunan, mushannaf,
muwaththa’ dan mustakhraj atas sunan.
c.
Kitab-kitab
yang berisi satu aspek saja dari tema agama, yaitukitab-kitab yang khusus
tentang hukum saja. Kitab-kitab ini biasanya merupakan kitab-kitab juzu’,
targhib dan tarhib, ahkam, zuhud, fadlail, adab
dan akhlak dan tema-tema khusus lainnya.[16]
Kelebihan
metode ini:
a.
Dapat
ditemukannya banyak hadits dalam satu tema tertentu terkumpul pada satu tempat.
b.
Metode
ini mendidik ketajaman pemahaman hadits kepada peneliti.
c.
Metode
ini tidak memerlukan pengetahuan diluar hadits, seperti keabsahan lafal
pertama, pengetahuan bahasa Arab dan perubahan-perubahannya, dan pengenalan
rawi pertama.
Kekurangan
metode ini:
a.
terkadang
hadits sulit disimpulkan oleh peneliti sehingga tidak dapat menentukan
temannya.
b.
Terkadang
pemahaman peneliti tidak sama dengan pemahaman penyusun kitab.[17]
5.
Takhrij Berdasarkan Status Hadits
Pada
metode takhrij untuk menelusurinya dapat digunakan kitab-kitab khusus.
Misalnya, apabila hadits tersebut termasuk hadits maudlu maka hadits tersebut
dapat dilihat dalam kitab-kitab hadits maudlu, bila hadits tersebut
termasuk hadits mursal maka hadits tersebut dapat dilihat dalam kitab-kitab
hadits mursal, bila hadits tersebut termasuk hadits qudsi maka hadits tersebut
dapat dilihat dalam kitab-kitab hadits qudsi, dan lain sebagainya.
Untuk
kepalsuan suatu hadits, adakalanya dari segi kerancuan lafaz, rusaknya arti,
bertentangan dengan nas Al-Qur’an atau dari segi lain bisa merujuk pada kitab al-Mashnu
fi Ma’rifati al-Hadis al-Maudlu karangan Syekh Ali al-Qadri al-Harawy w.
1014 H yang disusun secara alfabetis dan kitab Tanzih asy-Syari’ah
al-Mafu’ah ‘an al-Ahadis al-Syaniah al-Maudlu’ah yang disusun oleh Abu
Hasan Ali bin Muhammad bin Iraq al-Kinanr w. 963 H dengan sistematika urutan
bab.
Jika
hadits itu hadits qudsi, maka rujukan yang baik adalah kitab hadits qudsi
seperti Mizykat al-Anwar fi Ma Ruwiya ‘an Allah Subhanah wa Ta’ala min
al-Akhbar karangan Muhyiddin Muhammad bin Ali bin Araby al-Hatimy
al-Andalusy w. 638 H dan kitab al-Ittihaf as-Saniyah bi al-Ahadis
al-Qudsiyyah karangan Syekh Abdurrauf al-Manawy w. 1031 H.
Apabila
terdapat hadits yang mana ayah meriwayatkan hadits dari putranya maka sumber
yang dirujuk adalah kitab Riwayat al-Aba ‘an al-Abna karangan Abu
Bakar Ahmad bin Ali al-Khatib al-Baghdady. Jika Isnadnya ternyata berangkai
maka takhrijnya selayaknya diarahkan pada kitab al-Musalsalat al-Kubra,
karya as-Suyuthy atau kitab al-Manahil al-Silsilah karangan Syekh
Muhammad bin Abdul Baqy al-Ayyuby w. 1364 H. Jika sanadnya mursal, maka dirujuk
pada kitab al-Murasil karangan Abu Dawud al-Sajistany.[18]
Kelebihan
dari metode ini adalah kitab-kitab hadits yang dapat dijadikan rujukan dengan
metode ini memuat penjelasan-penjelasan tambahan dari penyusunnya. Adapun
kekurangannya bahwa metode ini memerlukan pengetahuan tentang keadaan sanad dan
matan hadits yang ditakhrij, disamping itu kitab-kitab rujukan metode ini
memuat hadits yang jumlahnya sangat terbatas.[19]
E.
MANFAAT MELAKUKAN TAKHRIJ HADITS
Adapun manfaat
dari kegiatan takhrij hadits sangat banyak sekali, diantaranya:[20]
1.
Memperkenalkan
sumber-sumber hadits, kitab-kitab asal dimana suatu hadits berada beserta ulama
yang meriwayatkannya.
2.
Dapat
menambah perbendaharaan sanad hadits melalui kitab-kitab yang dirujuknya.
Semakin banyak kitab asal yang memuat suatu hadits, semakin banyak pula
perbendaharaan sanad yang kita miliki.
3.
Dapat
memperjelas keadaan sanad dengan membandingkan riwayat-riwayat hadits yang
banyak itu, maka dapat diketahui apakah riwayat tersebut munqati’, mu’dal, dan
lain-lain. Demikian pula dapat diketahui apakah status riwayat tersebut shahih,
hasan atau dlaif.
4.
Dapat
memperjelas kualitas suatu sanad dengan banyaknya riwayat. Suatu hadits yang
dlaif kadang diperoleh melalui satu riwayat, namun takhrij memungkinkan akan
menemukan riwayat lain yang shahih. Hadits yang shahih itu akan mengangkat
kualitas hadits yang dlaif tersebut ke derajat yang lebih tinggi.
5.
Dapat
mengetahui pendapat para ulama seputar kualitas hadits.
6.
Dapat
menjelaskan nama periwayat yang sebenarnya.
7.
Dapat
memperjelas riwayat hadits yang smar. Dengan adanya takhrij kemungkinan dapat
diketahui nama periwayat yang sebenarnya secara lengkap, dan lain-lain.[21]
DAFTAR PUSTAKA
At-Tahhan,
Mahmud. 1995. Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadis. diterjemahkan
oleh Ridlwan Nasir. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Mahdi, Abu Muhammad Abdul. 1994. Metode Takhrij
Hadits. diterjemahkan oleh Agil Husni Munawwar dan Ahmad Rifqi Muchtar.
Semarang: Dina Utama.
Octoberrinsyah,
Imam Muhsin dan M. Alfatih Suryadilaga. 2005. Al-Hadis. Yogyakarta:
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Suryadilaga, Muhammad Alfatih dan Suryadi. 2009. Metodologi
Penelitian Hadis. Yogyakarta: TH-Pres.
Zein, M. Ma’shum. 2014. Ilmu Memahami Hadits Nabi.
Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
[1] Al-Qamusul
Muhit, I : 191-192
[2]
Al-Qamusul
Muhit, I : 192
[3]
Al-Qamusul
Muhit, I : 192
[4] Fathul
Mugis, As-Sakhawi, II : 338
[5] At-Tahhan,
Mahmud, 1995, Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadis, diterjemahkan
oleh Ridlwan Nasir, Surabaya: PT Bina Ilmu. hlm. 1-6
[7] Octoberrinsyah,
Imam Muhsin dan M. Alfatih Suryadilaga, 2005, Al-Hadis, Yogyakarta:
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. hlm 132-133
[8]
Syahid yang
memiliki sanad yang kuat, dapat memperkuat sanad yang sedang ditakhrij, begitu
juga mutabi’ yang memiliki sanad kuat, hadits yang sedang ditakhrij dapat
ditingkatkan kekuatannya oleh mutabi’
[11] Abu Muhammad
Abd al-Mahd ibn Abd al-Qadir ibn Abd al-Hadi, Turuq Takhrij Hadis Rasulullah
saw. Kairo: Dar al-Istisam, hlm. 79
[13] Mahdi, Abu Muhammad. 1994. Metode Takhrij Hadits. diterjemahkan
oleh Agil Husni Munawwar dan Ahmad Rifqi Muchtar. Semarang: Dina Utama. hlm
60-61
[17]
Abu Muhammad, Thuruq
at-Takhrij, hlm. 122
No comments:
Post a Comment