• TAKHRIJ HADITS


    A. PENGERTIAN TAKHRIJ HADITS
    Pada pembahasan ini akan disebutkan definisi takhrij menurut bahasa, istilah beberapa ahli Hadits dan menurut istilah.
    1.      Menurut Bahasa
    Takhrij menurut arti bahasa ialah:
    اِجْتِمَاعُ اَمْرَيْنِ مُتَضَادَيْنِ فِى شَيْءٍ وَاحِدٍ
                Artinya: “Kumpulan dua perkara yang saling berlawanan dalam satu masalah.”
    Hal ini sebagaimana tersebut dalam kamus:
    a.       وعام فيه تخريج, yang berarti حسب dan جدب yang bermakna subur dan menarik.
    b.      وارض مخرجة, (seperti bentuk kata: منقشة), yang berarti tanaman bumi yang terpisah-pisah.
    c.       وخرّج اللوح تخريجا, yang berarti menulis sebagian dan meninggalkan yang lain.
    d.      الخرج, yang berarti dua warna, putih dan hitam.[1]
    Takhrij ini dapat diartikan juga dalam beberapa arti, dan yang paling populer diantaranya adalah:
    a.       ستنباط الإ: mengeluarkan, sebagaimana kata-kata dalam kamus:الاستخراج  dan الاختراج yang berarti mengeluarkan.[2]
    b.      التدريب meneliti, sebagaimana kata-kata dalam kamus: فى الادب خرّجه فتخرّج yang berarti: خريج dengan bentuk isim maf’ul yang berarti sesuatu yang dikeluarkan.[3]
    c.       التوجيه : menerangkan, sebagaimana perkataan المسألة خرّج yang berarti وجّهها  artinya menjelaskan masalah dari satu segi.
    2.      Menurut Istilah Ahli Hadits
    Takhrij menurut ahli hadits, mempunyai pengertian sebagai berikut:
    a.       Sinonim (muradif)  kata : الاخراج yang berarti menjelaskan hadits pada orang lain dengan menyebutkan mukhrijnya, yaitu para perawi dalam sanad hadits, dimana suatu hadits keluar dari jalan mereka.
    b.      Mengeluarkan dan meriwayatkan hadits dari beberapa kitab. Dalam kitab Fathul Mugis, As-Sakhawi menyebutkan, Takhrij adalah periwayatan seorang ahli hadits terhadap satu hadits dari beberapa juz, guru, kitab dan sesamanya. Baik dari riwayatnya sendiri, sebagian guru, teman atau sesamanya. Membicarakannya atau menisbatkannya pada orang yang meriwayatkannya, yaitu para imam yang mempunyai kitab dan kodifikasi hadits.[4]
    c.       Ad-Dilalah, artinya menunjukan kitab-kitab sumber hadits dan menisbatkan dengan cara menyebutkan para rawinya, yaitu para pengarang kitab-kitab sumber hadits tersebut.
    3.      Menurut Istilah
    Takhrij menurut istilah ialah :
    اَلدِّلاَلَةُ عَلَى مَوْضِعِ الْحَدِيْثِ فِى مَصَادِرِهِ الْاصْلِيَةِ اَلَّتِى اَخْرَجَتْهُ بِسَنَدِهِ ثُمَّ بَيَانِ مَرْتَبَتَهِ عِنْدَ الْحَاجَةَ.
    Artinya:“Menunjukkan tempat hadits pada sumber-sumber aslinya, dimana hadits tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanadnya, kemudian menjelaskan derajat jika diperlukan.”
    a)      Menunjukkan tempat hadits, berarti menyebutkan kitab-kitab tempat hadits tersebut.
    b)      Sumber-sumber asli hadits ialah :
    1.      Kitab-kitab hadits yang di himpun para pengarang dengan cara yang diterima dari guru-gurunya dan lengkap dengan sanad-sanadnya sampai kepada Nabi muhammad SAW. Seperti kitab hadits enam.
    2.      Kitab-kitab hadits pengikut (tabi’) kitab-kitab hadits pokok diatas, seperti kitab-kitab yang menghimpun kitab-kitab hadits diatas. Seperti kitab Al jam’u baina Shohihaini.
    3.      Kiat-kitab selain hadits, misalnya kitab tafsir, fikih dan sejarah.
    c)      Menjelaskan derajat (nilai) hadits ketika diperlukan. Maksudnya menjelaskan nilai, baik shahih, dlaif dan sesamanya jika diperlukan. Karena itu, menjelaskan nilai hadits tidaj merupakan hal yang mendasar dalam menakhrij hadits, melainkan hanya penyempurna yang harus dipenuhi ketika diperlukan.[5]

    S    B. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TAKHRIJ HADITS
    Dikatakan oleh Mahmud at-Thahhan bahwa para peminat hadits saat itu dengan mudah merujuk pada kitab-kitab sangat kuat. Keadaan ini berubah pada abad-abad berikutnya yang disebabkan oleh semakin berkurangnya intensitas kajian terhadap kitab-kitab sumber aslinya. Ketika itu mereka mengalami kesulitan mengetahui letak hadits pada kitab sumber aslinya jika mendapat hadits-hadits itu dipergunakan sebagai argumen penguat dalam disiplin ilmu-ilmu lain. Dalam kitab-kitab hadits dikutip tanpa menyebutkan sumber pengambilannya. dalam kitab-kitab itu hadits-hadits dikutip tanpa menyebutkan sumber pengambilannya. Oleh karena itu kemudian bangkitlah para ulama untuk melakukan takhrij hadits terhadap kitab-kitab tersebut.
    Diantara kitab-kitab Takhrij terdapat hadits-hadits yang dikutip dari beberapa kitab tanpa sanad adalah:
    1.      Nash ar-Rayah li Ahadits al-Hidayah, oleh al-Hafiz az-Zaila’iy w. 162 H.
    2.      Takhrij Ahadis al-Kasysyaf, juga oleh az-Zaila’iy.
    Prof. Hasbi ash-Shiddiqy menegaskan bahwa kegiatan takhrij hadits setidaknya telah muncul pada abad 8 H.[6] Sebenarnya dapat ditemukan sebelum itu karya takhrij lain, yaitu Takhrij Ahadis al-Muhadzdzab, oleh Muhammad bin Musa al-Hazimy w. 584 H.
    Meskipun kegiatan takhrij hadits sudah banyak dilakukan oleh para ulama hadits, tetapi pembukuan ilmu ini sebagai ilmu baru dan terkodifikasi baru pada akhir abad ke-XIV H atau abad ke-XX M.[7]


    C. FAKTOR PENYEBEB TERJADINYA TAKHRIJ HADITS
                Faktor utama yang menyebabkan kegiatan penelitian hadits (takhrij hadits) adalah sebagai berikut:
    1.      Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadits yang akan diteliti.
    Hal ini dilakukan demi mengetahui status dan kualitas hadits yang akan diteliti. Seorang peneliti tidak akan bisa melakukan penelitian dengan baik dan cermat tanpa mengetahui secara benar sanad dan matan hadits yang sesuai dengan sumber pengambilannya.
    2.      Untuk mengetahui dan mencatat seluruh periwayatan hadits yang akan diteliti.
    Untuk memperoleh kepastian atas dlaif atau shahihnya sebuah sanad, seorang pentakhrij harus mengetahui seluruh para perawi hadits yang sedang ditakhrij, boleh jadi salah satu sanad hadits tersebut berkualitas dlaif, sedang sanad yang lain berkualitas shahih.
    3.      Mengetahui ada tidaknya syahid dan mutabi’
    Sebuah hadits bisa naik derajatnya apabila ditemukan adanya mutabi’ dan syahid, semua sanad hadits yang sanadnya bervariasi harus dikumpulkan, karena bisa jadi salah satunya merupakan syahid dan mutabi’ bagi hadits yang sedang ditakhrij.[8]

          D.    METODE TAKHRIJ HADITS
    Apabila menakhrij hadits hendaknya terlebih dahulu harus mempelajari keadaan hadits yang dimaksud, sebelum meneliti dalam kitab-kitab hadits.
    Metode pentakhrijan hadits tidak lebih dari lima macam, yaitu:
      1.      Takhrij dengan Mengetahui Sahabat yang Meriwayatkan Hadits
    Metode takhrij dengan mengikuti sistem pengelompokkan hadits atas dasar nama sahabat yang meriwayatkannya. Metode ini mutlak diperlukan pengetahuan tentang nama sahabat perawi hadits itu.
                Ada tiga macam referensi yang dapat digunakan dalam menggunakan metode ini, yaitu:
     a.      Kitab-kitab al-Musnad
    Kitab musnad adalah kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan urutan nama-nama perawi pertama dengan mengumpulkan hadits-hadits yang diriwayatkannya dalam satu kelompok.
                Diantara kitab kitab musnad ini adalah:
                 1.      Musnad Abi Bakr Abdullah bin al-Zubair al-Humaidiy w. 219 H
                 2.      Musnad Ahmad bin Hanbal w. 241 H
                 3.      Musnad Abi Ishaq Ibrahim bin Nashr
                 4.      Musnad Abi Dawud Sulaiman bin Dawud at-Thayalisiy w. 204 H
                 5.      Musnad Asad bin Musa al-Umawy
                 6.      Musnad Abi Khaitsamah Zubair bin Harb
                 7.      dan lain sebagainya
    Cara mencari hadits dalam musnad ini adalah pertama-tama cari dahulu nama sahabat perawi hadits itu. Setelah nama sahabat yang bersangkutan ditemukan, lalu kita teliti dengan cermat satu persatu hadits yang tercatat dibawah nama tersebut. Jika hadits yang dicari tidak ditemukan dibawah nama sahabat yang bersangkutan, berarti pengarang tidak meriwayatkan dalam musnadnya.
     b.      Kitab-kitab al-Mu’jam
    Mu’jam adalah kitab hadits yang disusun menurut nama-nama sahabat, guru atau kabilah dan nama-nama tersebut diurutkan secara alfabetis (huruf al-mu’jam).
         Kitab-kitab Mu’jam yang terkenal adalah:
    1.      Al-Mu’jam Al-Kabir karangan Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad al-Thabaraniy w. 360 H
    2.      Al-Mu’jam Al-Ausath karangan Abul Qasim
    3.      Al-mu’jam As-Shaghir karangan Abul Qasim
    4.      Mu’jam As-Shahabah karangan Ahmad bin Ali al-Hamadaniy w. 374 H
    5.      Mu’jam As-Shahabah karangan Abu Ya’la Ahmad bin Ali al-Mushiliy w. 307 H.[9]
     c.       Kitab-kitab al-Athraf
    Kitab al-Athraf adalah kitab yang disusun dengan cara menyebutkan permulaan bunyi hadits yang mengindikasikan bunyi selanjutnya, namun diantara kitab-kitab itu ada juga yang menyebutkan matan-matannya secara lengkap. Adapun urutan nama-nama sahabat dimaksud disusun berdasarkan urutan Alfabetis.
    Diantara kitab-kitab al-Athraf yang penting adalah:
    1.      Athraf as-Shahihain karangan Abu Mas’ud Ibrahim bin Muhammad al-Dimisyqiy w. 401 H
    2.      Al-Asyraf ‘ala. Ma’rifati al-Asyraf karangan al-Hafidz Abu Qasim Ali bin Hasan yang dikenal dengan Ibnu Asakir al-Dimisyqiy w. 671 H
    3.      Tuhfat al-Asyraf bi Ma’rifati al-Asyraf atau Athraf al-Kutub as-Sittah karangan Abu al-Hajjaj Yusuf Abdurrahman al-Mizsy w. 742 H.[10]
    Kelebihan dari metode ini:[11]
    a.       Dikemukakannya banyak jalan untuk matan yang sama
    b.      Memudahkan menghafal menghafal dan mengingat hadits hadits yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu.
    c.       Dapat dengan cepat diketahui semua hadits yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu dengan sanad dan matan secara lengkap.
    Kekurangan metode ini:
    a.       Metode ini tidak bisa digunakan jika nama sahabat yang meriwayatkannya tidak diketahui
    b.      Untuk menemukan hadits tertentu yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu membutuhkan waktu yang relatif lama, sebab pada umumnya sahabat tidak hanya meriwayatkan satu dua hadits saja.[12]
       2.      Takhrij Melalui Kata-kata dalam Matan Hadits
    Takhrij dengan metode ini tergantung pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadits, baik berupa isim atau fiil. Huruf-huruf tidak digunakan pada metode ini, hadits-hadits yang dicantumkan hanyalah bagian hadits. Adapun ulama-ulama yang meriwayatkannya dan nama kitab-kitab induknya dicantumkan dibawah potongan hadits-haditsnya.
    Kitab yang terkenal dalam metode takkhrij ini adalah kitab al-Mu’jam al-Mufahras yang disusun oleh beberapa orientalis.
    Kelebiha n dari metode ini:
    a.       Metode ini mempercepat pencarian hadits-hadits
    b.      Memungkinkan pencarian hadits melalui kata-kata apa saja yang terdapat dalam matan hadits
    c.       Para penyusun kitab-kitab takhrij dengan metode ini membatasi haditsnya dalam beberapa kitab-kitab induk dengan menyebutkan nama kitab, juz, bab dan halaman.
    Kekurangan metode ini:
    a.       Keharusan memiliki kemampuan Bahasa Arab beserta perangkat ilmu yang memadai
    b.      Metode ini tidak menyebutkan perawi dari kalangan sahabat
    c.       Hanya merujuk kepada sembilan kitab tertentu.[13]
       3.      Takhrij Melalui Lafal Pertama Matan Hadits
    Metode ini dipakai apabila permulaan hadits dapat diketahui dengan tepat. Tanpa mengetahui lafal pertama hadits metode ini sama sekali tidak dapat digunakan.
    Jenis-jenis kitab yang dapat dipakai dengan metode ini dapat diklasifikasikan menjadi:[14]
    a.       Kitab-kitab tentang hadits yang populer di masyarakat, seperti kitab at-Tazkirah fi al-Ahadits al-Musytahirah karangan Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi. Kitab jenis ini dikhususkan pada hadits-hadits yang populer di masyarakat.
    b.      Kitab-kitab hadits yang hadits-haditsnya disusun secara alfabetis. Kitab jenis ini yang paling banyak beredar adalah karangan as-Suyuthi w. 911 H, yang berjudul al-Jami’ ash-Shagir min Ahadis al-Basyir an-Nazir.
    c.       Kunci-kunci dan indeks yang dibuat dalam kitab-kitab tertentu. Beberapa ulama telah membuat kunci-kunci daftar atau indeks untuk mempermudah mencari hadits dalam kitab-kitab tersebut. Diantara kitab-kitab ini adalah Miftah ash-Shahihain karangan al-Tauqidiy.
    Kelebihan dan Kekurangan metode ini adalah kemungkinan besar kita dapat cepat menemukan hadits-hadits yang dimaksud. Hanya saja bila terdapat kelainan lafal pertama meski hanya sedikit akan berakibat sulit menemukan hadits.[15]
       4.      Takhrij Melalui Tema Hadits
    Dalam mentakhrij dengan menggunakan metode ini diperlukan kitab-kitab hadits yang tersusun berdasarkan bab-bab dan topik-topik. Kitab jenis ini banyak sekali dan dapat dibagi menjadi tiga kelompok:
    a.       Kitab yang berisi seluruk tema agama, yaitu kitab al-Jawami’ berikut dengan mustakhraj dan mustadraknya, al-Majami’, al-Zawaid dan secara khusus kitab Miftah Kunuz as-Sunnah.
    b.      Kitab-kitab yang berisi sebagian banyak tema-tema agama, yaitu kitab-kitab sunan, mushannaf, muwaththa’ dan mustakhraj atas sunan.
    c.       Kitab-kitab yang berisi satu aspek saja dari tema agama, yaitukitab-kitab yang khusus tentang hukum saja. Kitab-kitab ini biasanya merupakan kitab-kitab juzu’, targhib dan tarhib, ahkam, zuhud, fadlail, adab dan akhlak dan tema-tema khusus lainnya.[16]
    Kelebihan metode ini:
    a.       Dapat ditemukannya banyak hadits dalam satu tema tertentu terkumpul pada satu tempat.
    b.      Metode ini mendidik ketajaman pemahaman hadits kepada peneliti.
    c.       Metode ini tidak memerlukan pengetahuan diluar hadits, seperti keabsahan lafal pertama, pengetahuan bahasa Arab dan perubahan-perubahannya, dan pengenalan rawi pertama.
    Kekurangan metode ini:
    a.       terkadang hadits sulit disimpulkan oleh peneliti sehingga tidak dapat menentukan temannya.
    b.      Terkadang pemahaman peneliti tidak sama dengan pemahaman penyusun kitab.[17]
       5.      Takhrij Berdasarkan Status Hadits
    Pada metode takhrij untuk menelusurinya dapat digunakan kitab-kitab khusus. Misalnya, apabila hadits tersebut termasuk hadits maudlu maka hadits tersebut dapat dilihat dalam kitab-kitab hadits maudlu, bila hadits tersebut termasuk hadits mursal maka hadits tersebut dapat dilihat dalam kitab-kitab hadits mursal, bila hadits tersebut termasuk hadits qudsi maka hadits tersebut dapat dilihat dalam kitab-kitab hadits qudsi, dan lain sebagainya.
    Untuk kepalsuan suatu hadits, adakalanya dari segi kerancuan lafaz, rusaknya arti, bertentangan dengan nas Al-Qur’an atau dari segi lain bisa merujuk pada kitab al-Mashnu fi Ma’rifati al-Hadis al-Maudlu karangan Syekh Ali al-Qadri al-Harawy w. 1014 H yang disusun secara alfabetis dan kitab Tanzih asy-Syari’ah al-Mafu’ah ‘an al-Ahadis al-Syaniah al-Maudlu’ah yang disusun oleh Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Iraq al-Kinanr w. 963 H dengan sistematika urutan bab.
    Jika hadits itu hadits qudsi, maka rujukan yang baik adalah kitab hadits qudsi seperti Mizykat al-Anwar fi Ma Ruwiya ‘an Allah Subhanah wa Ta’ala min al-Akhbar karangan Muhyiddin Muhammad bin Ali bin Araby al-Hatimy al-Andalusy w. 638 H dan kitab al-Ittihaf as-Saniyah bi al-Ahadis al-Qudsiyyah karangan Syekh Abdurrauf al-Manawy w. 1031 H.
    Apabila terdapat hadits yang mana ayah meriwayatkan hadits dari putranya maka sumber yang dirujuk adalah kitab Riwayat al-Aba ‘an al-Abna karangan Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Khatib al-Baghdady. Jika Isnadnya ternyata berangkai maka takhrijnya selayaknya diarahkan pada kitab al-Musalsalat al-Kubra, karya as-Suyuthy atau kitab al-Manahil al-Silsilah karangan Syekh Muhammad bin Abdul Baqy al-Ayyuby w. 1364 H. Jika sanadnya mursal, maka dirujuk pada kitab al-Murasil karangan Abu Dawud al-Sajistany.[18]
    Kelebihan dari metode ini adalah kitab-kitab hadits yang dapat dijadikan rujukan dengan metode ini memuat penjelasan-penjelasan tambahan dari penyusunnya. Adapun kekurangannya bahwa metode ini memerlukan pengetahuan tentang keadaan sanad dan matan hadits yang ditakhrij, disamping itu kitab-kitab rujukan metode ini memuat hadits yang jumlahnya sangat terbatas.[19]

          E.     MANFAAT MELAKUKAN TAKHRIJ HADITS
                Adapun manfaat dari kegiatan takhrij hadits sangat banyak sekali, diantaranya:[20]
          1.      Memperkenalkan sumber-sumber hadits, kitab-kitab asal dimana suatu hadits berada beserta ulama yang meriwayatkannya.
          2.      Dapat menambah perbendaharaan sanad hadits melalui kitab-kitab yang dirujuknya. Semakin banyak kitab asal yang memuat suatu hadits, semakin banyak pula perbendaharaan sanad yang kita miliki.
          3.      Dapat memperjelas keadaan sanad dengan membandingkan riwayat-riwayat hadits yang banyak itu, maka dapat diketahui apakah riwayat tersebut munqati’, mu’dal, dan lain-lain. Demikian pula dapat diketahui apakah status riwayat tersebut shahih, hasan atau dlaif.
          4.      Dapat memperjelas kualitas suatu sanad dengan banyaknya riwayat. Suatu hadits yang dlaif kadang diperoleh melalui satu riwayat, namun takhrij memungkinkan akan menemukan riwayat lain yang shahih. Hadits yang shahih itu akan mengangkat kualitas hadits yang dlaif tersebut ke derajat yang lebih tinggi.
          5.      Dapat mengetahui pendapat para ulama seputar kualitas hadits.
          6.      Dapat menjelaskan nama periwayat yang sebenarnya.
          7.      Dapat memperjelas riwayat hadits yang smar. Dengan adanya takhrij kemungkinan dapat diketahui nama periwayat yang sebenarnya secara lengkap, dan lain-lain.[21]

    DAFTAR PUSTAKA

    At-Tahhan, Mahmud. 1995. Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadis. diterjemahkan oleh Ridlwan Nasir. Surabaya: PT Bina Ilmu.
    Mahdi, Abu Muhammad Abdul. 1994. Metode Takhrij Hadits. diterjemahkan oleh Agil Husni Munawwar dan Ahmad Rifqi Muchtar. Semarang: Dina Utama.
    Octoberrinsyah, Imam Muhsin dan M. Alfatih Suryadilaga. 2005. Al-Hadis. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
    Suryadilaga, Muhammad Alfatih dan Suryadi. 2009. Metodologi Penelitian Hadis. Yogyakarta: TH-Pres.
    Zein, M. Ma’shum. 2014. Ilmu Memahami Hadits Nabi. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.


    [1] Al-Qamusul Muhit, I : 191-192
    [2] Al-Qamusul Muhit, I : 192
    [3] Al-Qamusul Muhit, I : 192
    [4] Fathul Mugis, As-Sakhawi, II : 338
    [5] At-Tahhan, Mahmud, 1995, Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadis, diterjemahkan oleh Ridlwan Nasir, Surabaya: PT Bina Ilmu. hlm. 1-6
    [6] Hasbi Ash-Shiddiqy, 1987, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang. hlm 134
    [7] Octoberrinsyah, Imam Muhsin dan M. Alfatih Suryadilaga, 2005, Al-Hadis, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. hlm 132-133
    [8] Syahid yang memiliki sanad yang kuat, dapat memperkuat sanad yang sedang ditakhrij, begitu juga mutabi’ yang memiliki sanad kuat, hadits yang sedang ditakhrij dapat ditingkatkan kekuatannya oleh mutabi’
    [9] Thahhan, Mahmud, 1991, Usul at-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, Riyad: Maktabah Ma’arif. hlm 45-46
    [10] Ibid, hlm. 47
    [11] Abu Muhammad Abd al-Mahd ibn Abd al-Qadir ibn Abd al-Hadi, Turuq Takhrij Hadis Rasulullah saw. Kairo: Dar al-Istisam, hlm. 79
    [12] Octoberrinsyah, Imam Muhsin dan M. Alfatih Suryadilaga. Al-Hadis. hlm. 134-137
    [13] Mahdi, Abu Muhammad. 1994. Metode Takhrij Hadits. diterjemahkan oleh Agil Husni Munawwar dan Ahmad Rifqi Muchtar. Semarang: Dina Utama. hlm 60-61
    [14] At-Thahhan, Ushul at-Takhrij, hlm. 59
    [15] Octoberrinsyah, Imam Muhsin dan M. Alfatih Suryadilaga. Al-Hadis. hlm. 137-138
    [16] Ibid, hlm. 141
    [17] Abu Muhammad, Thuruq at-Takhrij, hlm. 122
    [18] At-Thahhan, Ushul at-Takhrij, hlm. 129-131
    [19] Abu Muhammad, Thuruq at-Takhrij, hlm. 195
    [20] Ibid, hlm. 11-14
    [21] Zein, M. Ma’shum, 2014, Ilmu Memahami Hadits Nabi, Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
  • You might also like

    No comments:

Search This Blog

Powered by Blogger.

About Me

My photo
Born in the late 20th century, when the country was shaken by shinobi (ninja). At that time the government was held by the shogunate.

Aku dan kataku

NATIONAL ANTHEMS OF QATAR: السلام الاميري | AS-SALĀM AL-ʾAMĪRĪ | PEACE TO THE AMIR

"as-Salām al-ʾAmīrī" (Arabic: السلام الأميري‎, Peace to the Amir) is the national anthem of Qatar, written by al-Shaykh Mubārak bi...