A.
Nusyuz dalam Hukum
Perkawinan Islam
1.
Pengertian
Nusyuz
Nusyuz adalah kata
yang berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi ارتفاع yang berarti meninggi atau terangkat. Menurut Ibn Manzur
sebagaimana dikutip oleh Nurzalaili Mohd Ghazali, Nusyuz berasal dari
perkataan Arab yaitu nasyaza, yansyuzu, nusyuzan (نشز ينشز نشوزا)
yang memberi beberapa maksud. Antaranya nusyuz memberi
maksud bangkit dari tempatnya atau bangun.[1]
Sedangkan secara terminologi, kata nusyuz berarti kedurhakaan seorang
istri kepada suami atau kedurhakaan seorang suami kepada istri dalam hal
menjalankan kewajiban sesuai fungsinya dalam berumahtangga.[2]
Menurut
fuqaha Hanafiyah seperti yang dikemukakan Saleh Ganim mendefinisikanya dengan
ketidaksenangan yang terjadi diantara suami-isteri. Ulama mazhab Maliki
berpendapat bahwa nusyuz adalah saling menganiaya suami isteri.
Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah nusyuz adalah perselisihan diantara
suami-isteri, sementara itu ulama Hanabilah mendefinisikanya dengan
ketidaksenangan dari pihak isteri atau suami yang disertai dengan pergaulan
yang tidak harmonis.[3]
Menurut Muhammad Ali al-Sabuni, nusyuz adalah perilaku istri
yang tidak lagi menghormati suaminya dan tidak lagi menjalankan kewajibannya
sebagai istri. Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili, nusyuz adalah sikap
pembangkangan istri kepada suami dan bersikap sombong kepada pasangannya dengan
menunjukkan amarahnya.[4]
Berdasrkan definisi-definisi tersebut di atas, dapat dipahami bahwa
yang dimaksud dengan nusyuz adalah perbuatan yang keluar dari ketaatan
atau tidak melaksanakan kewajibannya masing-masing (suami atau istri) yakni
perbutan istri yang keluar dari mentaati suami serta meninggalkan kewajibannya
ataupun sebaliknya suami melalaikan kewajibannya kepada istri.[5]
2.
Dasar
Hukum Nusyuz
Dasar
hukum mengenai nusyuz dapat kita temukan dalam al-Qur’an surah an-Nisa’
ayat 34 yang berbunyi:[6]
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلٰى النِّسَآءِ بِمَا
فَضَّلَ اللهُ بَعْضُهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ
فَالصّٰلِحٰتٌ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ ۗ وَالّٰتِيْ
تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ
ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗ اِنَّ
اللهَ كَانَ عَلِيْمًا كَبِيْرًا ﴿۳٤﴾
Artinya: “Laki-laki
(suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka (laki-laki) atas bagian yang lain (perempuan), dan karena mereka
(laki-laki) telah memberikan nafkah bagi hartanya. Maka perempuan-perempuan
yang soleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya)
tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan
akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehati kepada mereka, tinggallah mereka di
tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukulah mereka. Tetapi jika
mereka manaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya.
Sungguh, Allah Maha Tinggi, lagi Maha Besar.” (Q.S.
an-Nisa’ ayat 34).
وَاِنِ امْرَاَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُىوْزًا أَوْاِعْرَاضًا
فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَنْ يُّصْلِحَا بَيْىَهُمَا
صُلْحًا ۗ وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗ وَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ
الشُّحَّ ۗ وَاِنْ تُحْسِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا
تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا ﴿۱٢٨﴾
Artinya: “Dan
jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap acuh tak
acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian
itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan
jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan istrimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz
dan sikap acuh tak acuh), maka sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang
kamu kerjakan.” (Q.S. an-Nisa’ ayat 128).
Dalam
sunnah Nabi SAW. disebutkan, Dari Zurarah bin Aufa, dari Abi Hurairah, dari
Nabi SAW. bersabda:[8]
اذا دعا الرجل امر أتة الي فر اشها, فأبت أن تجيء, لعنتها الملائكة
حتى تصبح
Artinya:
“Apabila seorang istri bermalam dengan meninggalkan tempat tidur suaminya,
Malaikat melaknatnya hingga ke subuh.” (H.R. Muslim).
Dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam mengatur masalah nusyuz tampaknya mengikuti
alur pikiran jumhur ulama bahwa nusyuz hanya ditujukan kepada istri, hal
ini terlihat dari bunyi:
Pasal 80 ayat (7):[9]
“Kewajiban suami
sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.”
Pasal 84 ayat (1):[10]
“Istri dapat dianggap
nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.”
Aturan
mengenai persoalan nusyuz dipersempit hanya pada nusyuznya istri
saja serta akibat hukum yang ditimbulkannya. Mengawali pembahasannya dalam
persoalan nusyuz KHI berangkat dari ketentuan awal tentang kewajiban
bagi istri, yaitu bahwa dalam kehidupan rumah tangga kewajiban utama bagi
seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami dalam bataas-batas
yang dibenarkan oleh hukum islam. Istri dianggap nusyuz jika ia tidak
mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud tersebut. Walaupun
dalam masalah menentukan ada atau tidak adanya nusyuz istri tersebut
menurut KHI harus di dasarkan atas bukti yang sah.[11]
3. Bentuk-Bentuk
Nusyuz
a. Nusyuz Istri
Menurut
Wahbah al-Zuhaili nusyuz istri ialah kedurhakaan wanita terhadap suami
dalam perkara yang diwajibkan ke atasnya, sikap saling membenci antarakeduanya
dan keluar rumah tanpa izin suami.15 Istri
meninggalkan rumah dengan tiada sebab syari’ yang membolehkan atau
menghalang suaminya memasuki rumahnya sebelum suami memintanya berpindah ke
rumah lain.[12]
1) Istri
menyerahkan tubuhnya untuk disetubuhi suami tetapi menghalang suami dari
mengambil kesedapan dalam bentuk lain, begitu juga sentuhan tanpa keuzuran dari
pihak istri dan pendahuluan bagi persetubuhan.
2) Keluar
dari rumah tanpa izin suami melainkan rumah tersebut membahayakan.
3) Ihram
dengan haji atau umrah tanpa izin suami.
4) Keluar
dari agama Islam.
5) Menyanggahi
(tidak taatkan) suami.
6) Enggan
berbuka puasa sunat selepas disuruh oleh suami.
b. Nusyuz Suami
Dalam rumah tangga, kedudukan suami
adalah sebagai pemimpin yang bertanggungjawab sepenuhnya atas segala sesuatu
dalam rumah tangga tersebu. Sedangkan seorang istri sebagai ibu rumah tangga
yang kedudukannya mempunyai tanggung jawab yang berbeda halnya dengan tanggung
jawab suami. Menurut Ibnu Qudamah: “Nusyuz suami mengandung arti
pendurhakaan suami kepada Allah kerena meninggalkan kewajibannya kepada istri.”
Pendapat tersebut didasarkan kepada Q.S. an-Nisa ayat 34 yang menjelaskan bahwa
suami sebagai imam atau pemimpin bagi istri dalam rumah tangga.[14]
Nusyuz dari suami
adalah bersikap keras kepada istrinya, tidak mau menggaulinya dan tidak mau
menggaulinya. Biasanya nusyuz suami ini terjadi apabila tuntutan istri
terlalu tinngi terhadap sesuatu yang diluar jangkauan kemampuan suami. Namun, nusyuz
suami saat ini tidak hanya terjadi disebabkan oleh karena tuntutan istri yang
terlalu tinggi. Tetapi, karena pembawaan sifat dan sikap suami yang memang
tidak baik, antara lain karena suka berjudi, mabuk-mabukan, selingkuh dan
sebagainya yang menyebabkan terjadinya ketidakharmonisan dalam rumah tangga
serta runtuhnya perkawinan.[15]
4. Akibat
Hukum Perbuatan Nusyuz
Menurut
Muhammad 'Ali al-Sabuni, apabila terjadi nusyuz yang dilakukan oleh
istri maka Islam memberikan cara yang jelas dalam mengatasinya adalah sebagai
berikut:[16]
a. Memberikan
nasihat dan bimbingan dengan bijaksana dan tutur kata yang baik.
b. Memisahi
ranjang dan tidak mencampurinya (mengaulinya).
c. Pukulan
yang sekiranya tidak menyakitkan, misalnya dengan siwak dan sebagainya, dengan
tujuan sebagai pembelajaran baginya.
d. Kalau
ketiga cara diatas sudah tidak berguna (masih belum bisa mengatasi istri yang nusyuz),
maka dicari jalan dengan bertahkim (mengangkat hakim) untuk menyelesaikannya.
Mengenai
tiga tindakan yang harus dilakukan suami terhadap istri yang nusyuz berdasarkan
pada surat an-Nisa' Ayat 34, ulama fiqh berbeda pendapat dalam pelaksanaanya,
apakah harus berurutan atau tidak. Menurut jumhur, termasuk mazhab Hambali, tindakan
tersebut harus berurutan dan disesuaikan dengan tingkat dan kadar nusyuznya.
Sedangkan mazhab Syafi’i, termasuk Imam Nawawi, berpendapat bahwa dalam
melakukan tindakan tersebut tidak harus berjenjang, boleh memilih tindakan yang
diinginkan seperti tindakan pemukulan boleh dilakukan pada awal istri nusyuz.
Hal itu dengan catatan jika dirasa dapat mendatangkan manfaat atau faedah jika
tidak maka tidak perlu, malah yang lebih baik adalah memaafkannya.[17]
Sebagai
akibat hukum yang lain dari perbuatan nusyuz menurut jumhur ulama,
mereka sepakat bahwa istri yang tidak taat kepada suaminya (tidak ada tamkin
sempurna dari istri) tanpa adanya suatu alasan yang dapat dibenarkan secara syar’i
atau secara ‘aqli maka istri dianggap nusyuz dan tidak berhak
mendapatkan nafkah. Dalam hal suami beristri lebih dari satu (poligami) maka
terhadap istri yang nusyuz selain tidak wajib memberikan nafkah, suami
juga tidak wajib memberikan giliranya. Tetapi ia masih wajib memberikan tempat
tinggal.[18]
Menurut
mazhab Hanafi, apabila seorang istri mengikatkan (tertahan) dirinya di rumah
suaminya dan dia tidak keluar tanpa seizin suaminya, maka istri seperti ini
dianggap taat. Sedangan bila ia keluar rumah atau menolak berhubungan badan
dengan alasan yang tidak dapat dibenarkan secara syar’i maka ia disebut nusyuz
dan tidak mendapatkan nafkah sedikitpun, karena sebab wajibnya nafkah
menurut ulama Hanafiyah adalah tertahannya seorang istri di rumah suami.[19]
5.
Penyelesaian Nusyuz
Baik
nusyuz yang datang dari istri maupun suami, keduanya memiliki cara-cara
penyelesaiannya, yaitu:
a. Nusyuz Suami
Penyelesaiannya seperti ditegaskan dalam
Q.S. an-Nisa ayat 128 istri diberi hak mengadakan perjanjian dengan suaminya
guna kebaikan hubungan keduanya yang isinya terserah pada kesepakatan bersama.
Hendaknya istri mengadakan musyawarah, pendekatan, dan perdamaian dengan
suaminya. [20]
Menurut Imam Malik, istri boleh
mengadukan suaminya kepada hakim. Hakimlah yang akan memberi nasehat kepada
suami. Apabila tidak berhasil hakim dapat melarang istri untuk taat pada suami,
tetapi suami tetap wajib memberi nafkah. Dan hakim juga membolehkan sang istri pisah
ranjang, bahkan tidak kembali kerumah suaminya. Setelah pelaksanaan hukuman
tersebut dan sang suami belum juga memperbaiki diri, hakim boleh memutuskan
perceraian jika sang istri menginginkannya. Pendapat Imam Malik ini seimbang dengan
sikap yang harus diambil oleh suami bila menghadapi nusyuz istrinya.[21]
b. Nusyuz Istri
Jika diketahui bahwa istrinya telah
bersikap nusyuz maka suami harus bertindak sebagai berikut:[22]
1) Menasehati
dengan baik
Maka
hendaklah ia menasehati istrinya dengan lemah lembut, dan mengingatkannya
terhadap apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya. Lalu hendaklah ia
memberinya harapan akan pahala dari Allah lantaran mentaatinya dan agar ia
termasuk kedalam golongan wanita-wanita salehah yang taat kepada Allah dan menjaga
kehormatan suaminya saat tidak ada. Firman Allah Q.S. Fusshilat ayat 34 yang
artinya:
“Dan tidaklah sama
kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik,
maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah
telah menjadi teman yang sangat setia.” (Q.S. Fusshilat:34).
2) Menjauhi
istri (hajr) di tempat tidur
Hajr
berasal
dari kata hijrah yang berarti memutuskan. Allah berfirman dalam Q.S. an-Nisa “Pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka.” Suami menakut nakuti istrinya tersebut
dengan cara menjauhinya dan tidak melakukan hubungan intim dengannya, dengan
harapan dia tidak akan tahan menghadapi cara ini.
3) Istrinya
boleh dipukul dengan tidak berat.
Penafsiran
ulama mengenai kata dharaba adalah bahwa pukulan yang dimaksud ini
bukanlah pukulan untuk menyakiti tapi untuk mendidik. Di dalam memukul perlu
diperhatikan hal-hal berikut:
a) Pukulan
itu tidak boleh sampai melukai.
b) Tidak
boleh sampai melukai dalam memukul.
c) Tidak
memukul wajah, dan dijaga agar pukulan itu tidak mengenai bagian-bagian vital
yang dapat membahayakan.
B. Syiqaq dalam Hukum Perkawinan Islam
1. Pengertian Syiqaq
Syiqaq secara
bahasa merupakan bentuk mashdar (gerund) dari kata kerja (verb)
شَقَّ yangberarti perselisihan (اَلنِّزَاعُ) kebalikan dari
kata
الإِتِّحَادُ.[23]
Sedangkan secara terminologis menurut Dr. Wahbah Zuhaily:
اَلشِّقَاقُ هُوَ
اَلنِّزَاعُ الشَّدِيْدُ بِسَبَبِ الطَّعْنِ فِى الْكَرَامَةِ.
Menurut Imam
Malik dan Ahmad kalau istri mendapat perlakuan kasar dari suaminya, maka ia
dapat mengajukan gugatan cerai ke hadapan hakim agar perkawinan diputus karena
cerai.[25]
Dari penjelasan
ulama di atas syiqaq dapat dipahami sebagai peristiwa cekcok suami istri
yang sudah mencapai batas klimaks, sehingga perkawinan mereka diambang
kehancuran tak ada harapan untuk dipersatukan kembali setelah melalui usaha
perdamaian yang dilakukan oleh pengadilan ternyata tidak berhasil, maka jalan
terakhir untuk menghilangkan mudharat adalah dengan perceraian.[26]
2.
Dasar
Hukum Syiqaq
Adapun dasar hukum syiqaq adalah Firman Allah dalam Q.S.
an-Nisa ayat 35 yang menjelaskan cara menyelesaikan syiqaq.
وَاِنْ خِفْتُمْ
شِقَاقَ بَيْنَهُمَا فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِنْ اَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ اَهْلِهَا
ۚ اِنْ يُّرِيْدَآ اِصْلَاحًا يُّوَفِّقِ اللهُ بَيْنَهُمَا ۗ اِنَّ
اللهَ كَانَ عَلِيْمًا كَبِيْرًا ﴿۳٥﴾
Artinya: “Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara
keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang
juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (Q.S. Q.S. an-Nisa’ ayat 35)[27]
Dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia, syiqaq dirumuskan dalam Pasal 76 ayat 1
UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berbunyi:[28]
Ayat (1)
“Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka
untuk mendapatkan alasan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang
berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri.”
Ayat
(2)
“Pengadilan
setelah mendengarkan keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami
istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak
ataupun orang lain untuk menjadi hakam.”
Hal tersebut sama rumusan dan hakikatnya yang tertuang dalam Pasal
19 f PP Nomor 9 Tahun 1975[29] dan
Pasal 116 f Kompilasi Hukum Islam[30] “Antara
suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”
3.
Faktor-Faktor
Penyebab Syiqaq
Kekerasan bisa menimpa siapa saja
termasuk ibu, bapak, suami, istri, anak atau pembantu rumah tangga. Namun
secara umum pengertian kekerasan dalam rumah tangga lebih dipersempit artinya
sebagai penganiayaan oleh suami terhadap istri. Hal ini bisa dimengerti karena
kebanyakan korban kekerasan dalam rumah tangga adalah istri. Sudah barang tentu
pelakunya adalah suami “tercinta.” Di dalam rumah tangga, ketegangan maupun
konflik merupakan hal yang biasa. Namun apabila ketegangan itu berbuah
kekerasan, seperti: menampar, menendang, mamaki, menganiaya, dan lain
sebagainya, ini adalah hal yang tidak biasa dan sudah seharusnya tidak terjadi
dalam rumah tangga.[31]
Wahbah al-Zuhaili dalam literaturnya
mencoba menjelaskan tentang syiqaq sebagai alasan perceraian disamping
ada beberapa faktor lain yang menjadi dasar atau alasan gugat cerai oleh istri
yang diajukan ke pengadilan. Disamping itu, al-Ghazali menjelaskan bahwa dalam
kehidupan rumah tangga, syiqaq bisa terjadi karena tiga faktor: pertama,
istri nusyuz terhadap suami, kedua, seorang istri mendapatkan
perlakuan sewenang-wenang dari suami, seperti halnya dipukul dan lain-lain, ketiga,
adalah adanya suatu persoalan yang rumit sehingga sulit diketahui siapa
yang bersalah dalam masalah itu, apakah suami atau istri.[32]
4.
Akibat
Hukum Perbuatan Syiqaq
Apabila
dalam kasus syiqaq ini keduanya tidak dapat berdamai maka salah satu hal
yang terbaik adalah dengan menceraikan keduanya, dan kedudukan cerai sebab kasus
syiqaq adalah bersifat ba’in, yaitu pernikahan yang putus secara penuh
dan tidak memungkinkan untuk kembali lagi kecuali dengan mengadakan akad dan mas
kawin baru tanpa harus dinikahi oleh pria lain sebelumnya.[33]
5.
Penyelesaian
Syiqaq
Ibnu
Qudamah secara kronologis menjelaskan langkah-langkah yang diambil oleh seorang
hakam dalam menghadapi konflik tersebut, yaitu:
Pertama, hakim mempelajari dan meneliti penyebab terjadinya konflik tersebut, dan apabila ditemukan penyebabnya adalah nusyuznya istri maka penyelesaiannya adalah sebagaimana dalam kasus nusyuz istri, dan bila asal permasalahan terjadi karena nusyuznya suami maka yang harus dilakukan adalah mencari orang yang disegani untuk menasehati sang suami supaya menghentikan sikap nusyuznya terhadap istri. Dan apabila konflik tersebut berasal dari keduanya dan keduanya saling menyalahkan maka hakim mencarikan orang yang disegani untuk menasehati keduanya.
Kedua, bila langkah-langkah di atas tidak membuahkan hasil, maka hakim menunjuk seseorang dari pihak suami dan pihak istri untuk menyelesaikan konflik tersebut. Kepada kedua orang yang ditunjuk oleh hakim tersebut diserahi wewenang untuk menyatukan kembali keluarga yang hampir pecah itu dan apabila hal tersebut tidak memungkinkan maka diperbolehkan untuk menceraikannya.[34]
Pertama, hakim mempelajari dan meneliti penyebab terjadinya konflik tersebut, dan apabila ditemukan penyebabnya adalah nusyuznya istri maka penyelesaiannya adalah sebagaimana dalam kasus nusyuz istri, dan bila asal permasalahan terjadi karena nusyuznya suami maka yang harus dilakukan adalah mencari orang yang disegani untuk menasehati sang suami supaya menghentikan sikap nusyuznya terhadap istri. Dan apabila konflik tersebut berasal dari keduanya dan keduanya saling menyalahkan maka hakim mencarikan orang yang disegani untuk menasehati keduanya.
Kedua, bila langkah-langkah di atas tidak membuahkan hasil, maka hakim menunjuk seseorang dari pihak suami dan pihak istri untuk menyelesaikan konflik tersebut. Kepada kedua orang yang ditunjuk oleh hakim tersebut diserahi wewenang untuk menyatukan kembali keluarga yang hampir pecah itu dan apabila hal tersebut tidak memungkinkan maka diperbolehkan untuk menceraikannya.[34]
Ulama
berbeda pendapat dalam menentukan kedudukan orang yang diangkat menjadi hakam.
Pendapat yang pertama, berasal dari riwayat Imam Ahmad dan juga Imam Syafi’i
serta dijadikan pegangan oleh Atha yang pada intinya kedudukan dua orang hakam
tersebut adalah sebagai wakil dari suami istri. Oleh karena itu, kedua hakam
tersebut hanya berwenang untuk mendamaikan keduanya, dan tidak berwenang untuk
menceraikan keduanya kecuali atas izin dan persetujuan dari pihak suami istri.
Mereka beralasan bahwa kehormatan yang dimiliki istri menjadi hak bagi suami.
Selain itu keduanya telah dewasa dan cerdas, oleh karena itu pihak lain tidak
dapat memutuskan sesuatu kecuali atas persetujuannya.[35]
Golongan
kedua yang terdiri dari Ali, Ibnu Abbas, Imam Malik, dan lain-lain berpendapat
bahwa dua orang hakam tersebut berkedudukan sebagai hakim. Oleh karena itu
keduanya dapat bertindak menurut apa yang dianggapnya baik tanpa persetujuan
suami istri.[36]
Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa
seseorang yang mewakili pihak suami ataupun pihak istri dalam hal syiqaq
berkedudukan. Pertama, sebagai wakil dari suami istri dan dalam hal ini
kedua orang tersebut tidak berhak untuk memutuskan perkara tanpa adanya
persetujuan dari kedua orang yang berselisih. Kedua, seseorang yang
mewakili dari pihak suami ataupun pihak isteri berkedudukan sebagai hakim dan
mereka mempunyai kewenangan untuk memutuskan perkara walaupun tanpa persetujuan
orang yang bersangkutan.[37]
DAFTAR
PUSTAKA
Achmad
Saefudin Zuhri, Implementasi Hukum Nusyuz dalam Surat Annisa’ Ayat 34 pada
Masyarakat Desa Pasekan Kecamatan Ambarawa Kabuparen Semarang, (Salatiga:
IAIN Salatiga, 2018).
Al-Qur’an
al-Azim, Departemen Agama Republik Indonesia, (Bandung: PT Mizan Pustaka,
2009).
Annalia,
Pemahaman Ulama Kontemporer Indonesia tentang Nusyuz dan Penyelesaiannya
dalam Surah al-Nisa’: 34, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2017).
Fatma
Novida Matodang, Konsep Nusyuz dalam Perspektif Hukum Perkawinan Islam, (Medan:
Universitas Sumatera Utara, 2009).
Indo.sgp
dalam http://hukumperkawinandiindonesia.blogspot.com/2012/03/syiqaq-pengertian-dan-akibat-hukumnya.html diakses pada 27 Maret 2020 Pukul 15:11 WIB.
Khoirul
Anam, Pendapat Siti Musdah Mulia tentang Nusyuz dalam Pasal 84 Kompilasi
Hukum Islam, (Semarang: IAIN Walisongo, 2014).
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2015).
MD. Nor Bin Muhamad, Konsep Nusyuz (Studi Komperatif Antara
Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i), (Riau: UIN Sultan Syarif Kasim, 2011).
Moh.
Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia Sebuah Kajian dalam Hukum Islam dan
Hukum Materil, (Tangerang Selatan: YASMI (Yayasan Asy-Syari’ah Modern
Indonesia), 2018).
Muhammad
Taqiyuddin Al Qisthy, Penyelesaian Perkara Syiqaq (Analisis Putusan
Pengadilan Agama Sumber, Cirebon Nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR), (Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah, 2010).
Pemerintah
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
1975 Tentang Pelaksana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Jakarta: Sekretariat Negara, 1975).
Pemerintah
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Pengadilan Agama, Lembaran Negara Nomor 49, (Jakarta: Sekretariat
Negara, 1989).
Rahma Pramudya Nawang Sari, Nusyuz-Marital Rape (KDRT)
Perspektif Hukum Perkawinan Islam, Jurnal Al-Ahwal, Vol. 5, No. 2, (Yogyakarta:
BP4 KUA Umbulharjo, 2012).
Sulaeman
Jazuli, Fenomena al-Syiqaq dalam Putusan Perkawinan di Pengadilan Agama Kota
Bogor, Jurnal Misykat al-Anwar, Vol. 28, No. 1, (Jakarta: UMJ, 2017).
[1] Moh. Ali Wafa,
Hukum Perkawinan di Indonesia Sebuah Kajian dalam Hukum Islam dan Hukum
Materil, (Tangerang Selatan: YASMI (Yayasan Asy-Syari’ah Modern Indonesia),
2018). Hlm. 112.
[2] Ibid.
[3] Khoirul Anam, Pendapat
Siti Musdah Mulia tentang Nusyuz dalam Pasal 84 Kompilasi Hukum Islam,
(Semarang: IAIN Walisongo, 2014). Hlm. 2.
[4] Annalia, Pemahaman
Ulama Kontemporer Indonesia tentang Nusyuz dan Penyelesaiannya dalam Surah
al-Nisa’: 34, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2017). Hlm. 54.
[5]
Rahma Pramudya Nawang Sari, Nusyuz-Marital Rape (KDRT) Perspektif Hukum
Perkawinan Islam, Jurnal Al-Ahwal, Vol. 5, No. 2, (Yogyakarta: BP4 KUA
Umbulharjo, 2012). Hlm. 143.
[6] Al-Qur’an
Al-Azim, Departemen Agama Republik Indonesia, (Bandung: PT Mizan Pustaka,
2009). Hlm. 85.
[7] Ibid. Hlm.
100.
[8] MD.
Nor Bin Muhamad, Konsep Nusyuz (Studi Komperatif Antara Mazhab Hanafi dan
Mazhab Syafi’i), (Riau: UIN Sultan Syarif Kasim, 2011). Hlm. 40.
[9] Kompilasi
Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2015). Hlm. 24.
[10] Ibid.
Hlm. 26.
[11]
Achmad Saefudin Zuhri, Implementasi Hukum Nusyuz dalam Surat Annisa’ Ayat 34
pada Masyarakat Desa Pasekan Kecamatan Ambarawa Kabuparen Semarang,
(Salatiga: IAIN Salatiga, 2018). Hlm. 29.
[12] MD. Nor Bin
Muhamad, Konsep Nusyuz (Studi Komperatif Antara Mazhab Hanafi dan Mazhab
Syafi’i). Hlm. 41 – 42.
[13] Ibid. Hlm.
42.
[14] Fatma Novida
Matodang, Konsep Nusyuz dalam Perspektif Hukum Perkawinan Islam, (Medan:
Universitas Sumatera Utara, 2009). Hlm. 91.
[15] Ibid.
Hlm. 92.
[16] Achmad
Saefudin Zuhri, Implementasi Hukum Nusyuz dalam Surat Annisa’ Ayat 34 pada
Masyarakat Desa Pasekan Kecamatan Ambarawa Kabuparen Semarang. Hlm. 34 –
35.
[17] Ibid.,
Hlm. 35.
[18] Ibid.
Hlm. 35 – 36.
[19] Ibid.
Hlm. 36.
[20] Ibid.,
Hlm. 37.
[21] Ibid.
Hlm. 38.
[22] Ibid.
Hlm. 38 – 44.
[23] Muhammad
Taqiyuddin Al Qisthy, Penyelesaian Perkara Syiqaq (Analisis Putusan
Pengadilan Agama Sumber, Cirebon Nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR), (Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah, 2010). Hlm. 48.
[24] Ibid.
[25] Ibid. Hlm.
49.
[26] Ibid.,
Hlm. 49.
[27] Al-Qur’an
Al-Azim, Departemen Agama Republik Indonesia. Hlm. 85.
[28] Pemerintah
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Pengadilan Agama, Lembaran Negara Nomor 49, (Jakarta: Sekretariat
Negara, 1989).
[29] Pemerintah
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
1975 Tentang Pelaksana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Jakarta: Sekretariat Negara, 1975).
[30] Kompilasi
Hukum Islam. Hlm. 34.
[31] Sulaeman Jazuli,
Fenomena al-Syiqaq dalam Putusan Perkawinan di Pengadilan Agama Kota Bogor,
Jurnal Misykat al-Anwar, Vol. 28, No. 1, (Jakarta: UMJ, 2017). Hal. 8.
[32] Ibid.
Hlm. 9.
[33]
Indo.sgp dalam http://hukumperkawinandiindonesia.blogspot.com/2012/03/syiqaq-pengertian-dan-akibat-hukumnya.html
diakses pada 27 Maret 2020 Pukul 15:11 WIB.
[34] Ibid.
[35] Ibid.
[36] Ibid.,
[37] Ibid.
No comments:
Post a Comment