• NUSYUZ DAN SYIQAQ DALAM HUKUM PERKAWINAN ISLAM


         A.    Nusyuz dalam Hukum Perkawinan Islam
    1.      Pengertian Nusyuz
    Nusyuz adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi ارتفاع yang berarti meninggi atau terangkat. Menurut Ibn Manzur sebagaimana dikutip oleh Nurzalaili Mohd Ghazali, Nusyuz berasal dari perkataan Arab yaitu nasyaza, yansyuzu, nusyuzan (نشز ينشز نشوزا) yang memberi beberapa maksud. Antaranya nusyuz memberi maksud bangkit dari tempatnya atau bangun.[1] Sedangkan secara terminologi, kata nusyuz berarti kedurhakaan seorang istri kepada suami atau kedurhakaan seorang suami kepada istri dalam hal menjalankan kewajiban sesuai fungsinya dalam berumahtangga.[2]
    Menurut fuqaha Hanafiyah seperti yang dikemukakan Saleh Ganim mendefinisikanya dengan ketidaksenangan yang terjadi diantara suami-isteri. Ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa nusyuz adalah saling menganiaya suami isteri. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah nusyuz adalah perselisihan diantara suami-isteri, sementara itu ulama Hanabilah mendefinisikanya dengan ketidaksenangan dari pihak isteri atau suami yang disertai dengan pergaulan yang tidak harmonis.[3]
    Menurut Muhammad Ali al-Sabuni, nusyuz adalah perilaku istri yang tidak lagi menghormati suaminya dan tidak lagi menjalankan kewajibannya sebagai istri. Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili, nusyuz adalah sikap pembangkangan istri kepada suami dan bersikap sombong kepada pasangannya dengan menunjukkan amarahnya.[4]
    Berdasrkan definisi-definisi tersebut di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan nusyuz adalah perbuatan yang keluar dari ketaatan atau tidak melaksanakan kewajibannya masing-masing (suami atau istri) yakni perbutan istri yang keluar dari mentaati suami serta meninggalkan kewajibannya ataupun sebaliknya suami melalaikan kewajibannya kepada istri.[5]
    2.      Dasar Hukum Nusyuz
    Dasar hukum mengenai nusyuz dapat kita temukan dalam al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 34 yang berbunyi:[6]
    اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلٰى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضُهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتٌ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ ۗ وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗ اِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيْمًا كَبِيْرًا ﴿۳٤﴾
    Artinya: Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas bagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah bagi hartanya. Maka perempuan-perempuan yang soleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehati kepada mereka, tinggallah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukulah mereka. Tetapi jika mereka manaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, lagi Maha Besar. (Q.S. an-Nisa’ ayat 34).
    Allah juga berfirman dalam Surah an Nisa’ ayat 128,[7] berbunyi:
    وَاِنِ امْرَاَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُىوْزًا أَوْاِعْرَاضًا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَنْ يُّصْلِحَا بَيْىَهُمَا صُلْحًا ۗ وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗ وَاُحْضِرَتِ الْاَنْفُسُ الشُّحَّ ۗ وَاِنْ تُحْسِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا ﴿۱٢٨﴾

    Artinya: Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap acuh tak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu memperbaiki (pergaulan dengan istrimu) dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh tak acuh), maka sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (Q.S. an-Nisa’ ayat 128).
    Dalam sunnah Nabi SAW. disebutkan, Dari Zurarah bin Aufa, dari Abi Hurairah, dari Nabi SAW. bersabda:[8]
    اذا دعا الرجل امر أتة الي فر اشها, فأبت أن تجيء, لعنتها الملائكة حتى تصبح
    Artinya: “Apabila seorang istri bermalam dengan meninggalkan tempat tidur suaminya, Malaikat melaknatnya hingga ke subuh.” (H.R. Muslim).
    Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam mengatur masalah nusyuz tampaknya mengikuti alur pikiran jumhur ulama bahwa nusyuz hanya ditujukan kepada istri, hal ini terlihat dari bunyi:
    Pasal 80 ayat (7):[9]
    “Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.”
    Pasal 84 ayat (1):[10]
    “Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.”
    Aturan mengenai persoalan nusyuz dipersempit hanya pada nusyuznya istri saja serta akibat hukum yang ditimbulkannya. Mengawali pembahasannya dalam persoalan nusyuz KHI berangkat dari ketentuan awal tentang kewajiban bagi istri, yaitu bahwa dalam kehidupan rumah tangga kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami dalam bataas-batas yang dibenarkan oleh hukum islam. Istri dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud tersebut. Walaupun dalam masalah menentukan ada atau tidak adanya nusyuz istri tersebut menurut KHI harus di dasarkan atas bukti yang sah.[11]
    3.      Bentuk-Bentuk Nusyuz
    a.       Nusyuz Istri
    Menurut Wahbah al-Zuhaili nusyuz istri ialah kedurhakaan wanita terhadap suami dalam perkara yang diwajibkan ke atasnya, sikap saling membenci antarakeduanya dan keluar rumah tanpa izin suami.15 Istri meninggalkan rumah dengan tiada sebab syari’ yang membolehkan atau menghalang suaminya memasuki rumahnya sebelum suami memintanya berpindah ke rumah lain.[12]
    Nusyuz boleh berlaku dari pihak istri dalam keadaan-keadaan berikut:[13]
    1)      Istri menyerahkan tubuhnya untuk disetubuhi suami tetapi menghalang suami dari mengambil kesedapan dalam bentuk lain, begitu juga sentuhan tanpa keuzuran dari pihak istri dan pendahuluan bagi persetubuhan.
    2)      Keluar dari rumah tanpa izin suami melainkan rumah tersebut membahayakan.
    3)      Ihram dengan haji atau umrah tanpa izin suami.
    4)      Keluar dari agama Islam.
    5)      Menyanggahi (tidak taatkan) suami.
    6)      Enggan berbuka puasa sunat selepas disuruh oleh suami.
    b.      Nusyuz Suami
    Dalam rumah tangga, kedudukan suami adalah sebagai pemimpin yang bertanggungjawab sepenuhnya atas segala sesuatu dalam rumah tangga tersebu. Sedangkan seorang istri sebagai ibu rumah tangga yang kedudukannya mempunyai tanggung jawab yang berbeda halnya dengan tanggung jawab suami. Menurut Ibnu Qudamah: “Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah kerena meninggalkan kewajibannya kepada istri.” Pendapat tersebut didasarkan kepada Q.S. an-Nisa ayat 34 yang menjelaskan bahwa suami sebagai imam atau pemimpin bagi istri dalam rumah tangga.[14]
    Nusyuz dari suami adalah bersikap keras kepada istrinya, tidak mau menggaulinya dan tidak mau menggaulinya. Biasanya nusyuz suami ini terjadi apabila tuntutan istri terlalu tinngi terhadap sesuatu yang diluar jangkauan kemampuan suami. Namun, nusyuz suami saat ini tidak hanya terjadi disebabkan oleh karena tuntutan istri yang terlalu tinggi. Tetapi, karena pembawaan sifat dan sikap suami yang memang tidak baik, antara lain karena suka berjudi, mabuk-mabukan, selingkuh dan sebagainya yang menyebabkan terjadinya ketidakharmonisan dalam rumah tangga serta runtuhnya perkawinan.[15]
    4.      Akibat Hukum Perbuatan Nusyuz
    Menurut Muhammad 'Ali al-Sabuni, apabila terjadi nusyuz yang dilakukan oleh istri maka Islam memberikan cara yang jelas dalam mengatasinya adalah sebagai berikut:[16]
    a.       Memberikan nasihat dan bimbingan dengan bijaksana dan tutur kata yang baik.
    b.      Memisahi ranjang dan tidak mencampurinya (mengaulinya).
    c.       Pukulan yang sekiranya tidak menyakitkan, misalnya dengan siwak dan sebagainya, dengan tujuan sebagai pembelajaran baginya.
    d.      Kalau ketiga cara diatas sudah tidak berguna (masih belum bisa mengatasi istri yang nusyuz), maka dicari jalan dengan bertahkim (mengangkat hakim) untuk menyelesaikannya.
    Mengenai tiga tindakan yang harus dilakukan suami terhadap istri yang nusyuz berdasarkan pada surat an-Nisa' Ayat 34, ulama fiqh berbeda pendapat dalam pelaksanaanya, apakah harus berurutan atau tidak. Menurut jumhur, termasuk mazhab Hambali, tindakan tersebut harus berurutan dan disesuaikan dengan tingkat dan kadar nusyuznya. Sedangkan mazhab Syafi’i, termasuk Imam Nawawi, berpendapat bahwa dalam melakukan tindakan tersebut tidak harus berjenjang, boleh memilih tindakan yang diinginkan seperti tindakan pemukulan boleh dilakukan pada awal istri nusyuz. Hal itu dengan catatan jika dirasa dapat mendatangkan manfaat atau faedah jika tidak maka tidak perlu, malah yang lebih baik adalah memaafkannya.[17]
    Sebagai akibat hukum yang lain dari perbuatan nusyuz menurut jumhur ulama, mereka sepakat bahwa istri yang tidak taat kepada suaminya (tidak ada tamkin sempurna dari istri) tanpa adanya suatu alasan yang dapat dibenarkan secara syar’i atau secara ‘aqli maka istri dianggap nusyuz dan tidak berhak mendapatkan nafkah. Dalam hal suami beristri lebih dari satu (poligami) maka terhadap istri yang nusyuz selain tidak wajib memberikan nafkah, suami juga tidak wajib memberikan giliranya. Tetapi ia masih wajib memberikan tempat tinggal.[18]
    Menurut mazhab Hanafi, apabila seorang istri mengikatkan (tertahan) dirinya di rumah suaminya dan dia tidak keluar tanpa seizin suaminya, maka istri seperti ini dianggap taat. Sedangan bila ia keluar rumah atau menolak berhubungan badan dengan alasan yang tidak dapat dibenarkan secara syar’i maka ia disebut nusyuz dan tidak mendapatkan nafkah sedikitpun, karena sebab wajibnya nafkah menurut ulama Hanafiyah adalah tertahannya seorang istri di rumah suami.[19]
    5.      Penyelesaian Nusyuz
    Baik nusyuz yang datang dari istri maupun suami, keduanya memiliki cara-cara penyelesaiannya, yaitu:
    a.       Nusyuz Suami
    Penyelesaiannya seperti ditegaskan dalam Q.S. an-Nisa ayat 128 istri diberi hak mengadakan perjanjian dengan suaminya guna kebaikan hubungan keduanya yang isinya terserah pada kesepakatan bersama. Hendaknya istri mengadakan musyawarah, pendekatan, dan perdamaian dengan suaminya. [20]
    Menurut Imam Malik, istri boleh mengadukan suaminya kepada hakim. Hakimlah yang akan memberi nasehat kepada suami. Apabila tidak berhasil hakim dapat melarang istri untuk taat pada suami, tetapi suami tetap wajib memberi nafkah. Dan hakim juga membolehkan sang istri pisah ranjang, bahkan tidak kembali kerumah suaminya. Setelah pelaksanaan hukuman tersebut dan sang suami belum juga memperbaiki diri, hakim boleh memutuskan perceraian jika sang istri menginginkannya. Pendapat Imam Malik ini seimbang dengan sikap yang harus diambil oleh suami bila menghadapi nusyuz istrinya.[21]
    b.      Nusyuz Istri
    Jika diketahui bahwa istrinya telah bersikap nusyuz maka suami harus bertindak sebagai berikut:[22]
    1)      Menasehati dengan baik
    Maka hendaklah ia menasehati istrinya dengan lemah lembut, dan mengingatkannya terhadap apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya. Lalu hendaklah ia memberinya harapan akan pahala dari Allah lantaran mentaatinya dan agar ia termasuk kedalam golongan wanita-wanita salehah yang taat kepada Allah dan menjaga kehormatan suaminya saat tidak ada. Firman Allah Q.S. Fusshilat ayat 34 yang artinya:
    “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Q.S. Fusshilat:34).
    2)      Menjauhi istri (hajr) di tempat tidur
    Hajr berasal dari kata hijrah yang berarti memutuskan. Allah berfirman dalam Q.S. an-Nisa “Pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka.” Suami menakut nakuti istrinya tersebut dengan cara menjauhinya dan tidak melakukan hubungan intim dengannya, dengan harapan dia tidak akan tahan menghadapi cara ini.
    3)      Istrinya boleh dipukul dengan tidak berat.
    Penafsiran ulama mengenai kata dharaba adalah bahwa pukulan yang dimaksud ini bukanlah pukulan untuk menyakiti tapi untuk mendidik. Di dalam memukul perlu diperhatikan hal-hal berikut:
    a)      Pukulan itu tidak boleh sampai melukai.
    b)      Tidak boleh sampai melukai dalam memukul.
    c)      Tidak memukul wajah, dan dijaga agar pukulan itu tidak mengenai bagian-bagian vital yang dapat membahayakan.

         B.     Syiqaq dalam Hukum Perkawinan Islam
    1.      Pengertian Syiqaq
    Syiqaq secara bahasa merupakan bentuk mashdar (gerund) dari kata kerja (verb) شَقَّ yangberarti perselisihan (اَلنِّزَاعُ) kebalikan dari kata الإِتِّحَادُ.[23] Sedangkan secara terminologis menurut Dr. Wahbah Zuhaily:
    اَلشِّقَاقُ هُوَ اَلنِّزَاعُ الشَّدِيْدُ بِسَبَبِ الطَّعْنِ فِى الْكَرَامَةِ.
    “Syiqaq adalah perselisihan yang tajam dengan sebab mencemarkan kehormatan.”[24]
    Menurut Imam Malik dan Ahmad kalau istri mendapat perlakuan kasar dari suaminya, maka ia dapat mengajukan gugatan cerai ke hadapan hakim agar perkawinan diputus karena cerai.[25]
    Dari penjelasan ulama di atas syiqaq dapat dipahami sebagai peristiwa cekcok suami istri yang sudah mencapai batas klimaks, sehingga perkawinan mereka diambang kehancuran tak ada harapan untuk dipersatukan kembali setelah melalui usaha perdamaian yang dilakukan oleh pengadilan ternyata tidak berhasil, maka jalan terakhir untuk menghilangkan mudharat adalah dengan perceraian.[26]
    2.      Dasar Hukum Syiqaq
    Adapun dasar hukum syiqaq adalah Firman Allah dalam Q.S. an-Nisa ayat 35 yang menjelaskan cara menyelesaikan syiqaq.
    وَاِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنَهُمَا فَابْعَثُوْا حَكَمًا مِنْ اَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ اَهْلِهَا ۚ اِنْ يُّرِيْدَآ اِصْلَاحًا يُّوَفِّقِ اللهُ بَيْنَهُمَا ۗ اِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيْمًا كَبِيْرًا ﴿۳٥﴾
    Artinya: “Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (Q.S. Q.S. an-Nisa’ ayat 35)[27]
    Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, syiqaq dirumuskan dalam Pasal 76 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berbunyi:[28]
    Ayat (1)
    “Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan alasan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri.”
    Ayat (2)
    “Pengadilan setelah mendengarkan keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam.”
    Hal tersebut sama rumusan dan hakikatnya yang tertuang dalam Pasal 19 f PP Nomor 9 Tahun 1975[29] dan Pasal 116 f Kompilasi Hukum Islam[30] “Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”
    3.      Faktor-Faktor Penyebab Syiqaq
    Kekerasan bisa menimpa siapa saja termasuk ibu, bapak, suami, istri, anak atau pembantu rumah tangga. Namun secara umum pengertian kekerasan dalam rumah tangga lebih dipersempit artinya sebagai penganiayaan oleh suami terhadap istri. Hal ini bisa dimengerti karena kebanyakan korban kekerasan dalam rumah tangga adalah istri. Sudah barang tentu pelakunya adalah suami “tercinta.” Di dalam rumah tangga, ketegangan maupun konflik merupakan hal yang biasa. Namun apabila ketegangan itu berbuah kekerasan, seperti: menampar, menendang, mamaki, menganiaya, dan lain sebagainya, ini adalah hal yang tidak biasa dan sudah seharusnya tidak terjadi dalam rumah tangga.[31]
    Wahbah al-Zuhaili dalam literaturnya mencoba menjelaskan tentang syiqaq sebagai alasan perceraian disamping ada beberapa faktor lain yang menjadi dasar atau alasan gugat cerai oleh istri yang diajukan ke pengadilan. Disamping itu, al-Ghazali menjelaskan bahwa dalam kehidupan rumah tangga, syiqaq bisa terjadi karena tiga faktor: pertama, istri nusyuz terhadap suami, kedua, seorang istri mendapatkan perlakuan sewenang-wenang dari suami, seperti halnya dipukul dan lain-lain, ketiga, adalah adanya suatu persoalan yang rumit sehingga sulit diketahui siapa yang bersalah dalam masalah itu, apakah suami atau istri.[32]
    4.      Akibat Hukum Perbuatan Syiqaq
    Apabila dalam kasus syiqaq ini keduanya tidak dapat berdamai maka salah satu hal yang terbaik adalah dengan menceraikan keduanya, dan kedudukan cerai sebab kasus syiqaq adalah bersifat ba’in, yaitu pernikahan yang putus secara penuh dan tidak memungkinkan untuk kembali lagi kecuali dengan mengadakan akad dan mas kawin baru tanpa harus dinikahi oleh pria lain sebelumnya.[33]
    5.      Penyelesaian Syiqaq
    Ibnu Qudamah secara kronologis menjelaskan langkah-langkah yang diambil oleh seorang hakam dalam menghadapi konflik tersebut, yaitu:
    Pertama, hakim mempelajari dan meneliti penyebab terjadinya konflik tersebut, dan apabila ditemukan penyebabnya adalah nusyuznya istri maka penyelesaiannya adalah sebagaimana dalam kasus nusyuz istri, dan bila asal permasalahan terjadi karena nusyuznya suami maka yang harus dilakukan adalah mencari orang yang disegani untuk menasehati sang suami supaya menghentikan sikap nusyuznya terhadap istri. Dan apabila konflik tersebut berasal dari keduanya dan keduanya saling menyalahkan maka hakim mencarikan orang yang disegani untuk menasehati keduanya.
    Kedua, bila langkah-langkah di atas tidak membuahkan hasil, maka hakim menunjuk seseorang dari pihak suami dan pihak istri untuk menyelesaikan konflik tersebut. Kepada kedua orang yang ditunjuk oleh hakim tersebut diserahi wewenang untuk menyatukan kembali keluarga yang hampir pecah itu dan apabila hal tersebut tidak memungkinkan maka diperbolehkan untuk menceraikannya.[34]
    Ulama berbeda pendapat dalam menentukan kedudukan orang yang diangkat menjadi hakam. Pendapat yang pertama, berasal dari riwayat Imam Ahmad dan juga Imam Syafi’i serta dijadikan pegangan oleh Atha yang pada intinya kedudukan dua orang hakam tersebut adalah sebagai wakil dari suami istri. Oleh karena itu, kedua hakam tersebut hanya berwenang untuk mendamaikan keduanya, dan tidak berwenang untuk menceraikan keduanya kecuali atas izin dan persetujuan dari pihak suami istri. Mereka beralasan bahwa kehormatan yang dimiliki istri menjadi hak bagi suami. Selain itu keduanya telah dewasa dan cerdas, oleh karena itu pihak lain tidak dapat memutuskan sesuatu kecuali atas persetujuannya.[35]
    Golongan kedua yang terdiri dari Ali, Ibnu Abbas, Imam Malik, dan lain-lain berpendapat bahwa dua orang hakam tersebut berkedudukan sebagai hakim. Oleh karena itu keduanya dapat bertindak menurut apa yang dianggapnya baik tanpa persetujuan suami istri.[36]
    Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang mewakili pihak suami ataupun pihak istri dalam hal syiqaq berkedudukan. Pertama, sebagai wakil dari suami istri dan dalam hal ini kedua orang tersebut tidak berhak untuk memutuskan perkara tanpa adanya persetujuan dari kedua orang yang berselisih. Kedua, seseorang yang mewakili dari pihak suami ataupun pihak isteri berkedudukan sebagai hakim dan mereka mempunyai kewenangan untuk memutuskan perkara walaupun tanpa persetujuan orang yang bersangkutan.[37]




    DAFTAR PUSTAKA


    Achmad Saefudin Zuhri, Implementasi Hukum Nusyuz dalam Surat Annisa’ Ayat 34 pada Masyarakat Desa Pasekan Kecamatan Ambarawa Kabuparen Semarang, (Salatiga: IAIN Salatiga, 2018).
    Al-Qur’an al-Azim, Departemen Agama Republik Indonesia, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009).
    Annalia, Pemahaman Ulama Kontemporer Indonesia tentang Nusyuz dan Penyelesaiannya dalam Surah al-Nisa’: 34, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2017).
    Fatma Novida Matodang, Konsep Nusyuz dalam Perspektif Hukum Perkawinan Islam, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2009).
    Khoirul Anam, Pendapat Siti Musdah Mulia tentang Nusyuz dalam Pasal 84 Kompilasi Hukum Islam, (Semarang: IAIN Walisongo, 2014).
    Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2015).
    MD. Nor Bin Muhamad, Konsep Nusyuz (Studi Komperatif Antara Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i), (Riau: UIN Sultan Syarif Kasim, 2011).
    Moh. Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia Sebuah Kajian dalam Hukum Islam dan Hukum Materil, (Tangerang Selatan: YASMI (Yayasan Asy-Syari’ah Modern Indonesia), 2018).
    Muhammad Taqiyuddin Al Qisthy, Penyelesaian Perkara Syiqaq (Analisis Putusan Pengadilan Agama Sumber, Cirebon Nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR), (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2010).
    Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,  (Jakarta: Sekretariat Negara, 1975).
    Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama, Lembaran Negara Nomor 49, (Jakarta: Sekretariat Negara, 1989).
    Rahma Pramudya Nawang Sari, Nusyuz-Marital Rape (KDRT) Perspektif Hukum Perkawinan Islam, Jurnal Al-Ahwal, Vol. 5, No. 2, (Yogyakarta: BP4 KUA Umbulharjo, 2012).
    Sulaeman Jazuli, Fenomena al-Syiqaq dalam Putusan Perkawinan di Pengadilan Agama Kota Bogor, Jurnal Misykat al-Anwar, Vol. 28, No. 1, (Jakarta: UMJ, 2017).



    [1] Moh. Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia Sebuah Kajian dalam Hukum Islam dan Hukum Materil, (Tangerang Selatan: YASMI (Yayasan Asy-Syari’ah Modern Indonesia), 2018). Hlm. 112.
    [2] Ibid.
    [3] Khoirul Anam, Pendapat Siti Musdah Mulia tentang Nusyuz dalam Pasal 84 Kompilasi Hukum Islam, (Semarang: IAIN Walisongo, 2014). Hlm. 2.
    [4] Annalia, Pemahaman Ulama Kontemporer Indonesia tentang Nusyuz dan Penyelesaiannya dalam Surah al-Nisa’: 34, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2017). Hlm. 54.
    [5] Rahma Pramudya Nawang Sari, Nusyuz-Marital Rape (KDRT) Perspektif Hukum Perkawinan Islam, Jurnal Al-Ahwal, Vol. 5, No. 2, (Yogyakarta: BP4 KUA Umbulharjo, 2012). Hlm. 143.
    [6] Al-Qur’an Al-Azim, Departemen Agama Republik Indonesia, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009). Hlm. 85.
    [7] Ibid. Hlm. 100.
    [8] MD. Nor Bin Muhamad, Konsep Nusyuz (Studi Komperatif Antara Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i), (Riau: UIN Sultan Syarif Kasim, 2011). Hlm. 40.
    [9] Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2015). Hlm. 24.
    [10] Ibid. Hlm. 26.
    [11] Achmad Saefudin Zuhri, Implementasi Hukum Nusyuz dalam Surat Annisa’ Ayat 34 pada Masyarakat Desa Pasekan Kecamatan Ambarawa Kabuparen Semarang, (Salatiga: IAIN Salatiga, 2018). Hlm. 29.
    [12] MD. Nor Bin Muhamad, Konsep Nusyuz (Studi Komperatif Antara Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i). Hlm. 41 – 42.
    [13] Ibid. Hlm. 42.
    [14] Fatma Novida Matodang, Konsep Nusyuz dalam Perspektif Hukum Perkawinan Islam, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2009). Hlm. 91.
    [15] Ibid. Hlm. 92.
    [16] Achmad Saefudin Zuhri, Implementasi Hukum Nusyuz dalam Surat Annisa’ Ayat 34 pada Masyarakat Desa Pasekan Kecamatan Ambarawa Kabuparen Semarang. Hlm. 34 – 35.
    [17] Ibid., Hlm. 35.
    [18] Ibid. Hlm. 35 – 36.
    [19] Ibid. Hlm. 36.
    [20] Ibid., Hlm. 37.
    [21] Ibid. Hlm. 38.
    [22] Ibid. Hlm. 38 – 44.
    [23] Muhammad Taqiyuddin Al Qisthy, Penyelesaian Perkara Syiqaq (Analisis Putusan Pengadilan Agama Sumber, Cirebon Nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR), (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2010). Hlm. 48.
    [24] Ibid.
    [25] Ibid. Hlm. 49.
    [26] Ibid., Hlm. 49.
    [27] Al-Qur’an Al-Azim, Departemen Agama Republik Indonesia. Hlm. 85.
    [28] Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama, Lembaran Negara Nomor 49, (Jakarta: Sekretariat Negara, 1989).
    [29] Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,  (Jakarta: Sekretariat Negara, 1975).
    [30] Kompilasi Hukum Islam. Hlm. 34.
    [31] Sulaeman Jazuli, Fenomena al-Syiqaq dalam Putusan Perkawinan di Pengadilan Agama Kota Bogor, Jurnal Misykat al-Anwar, Vol. 28, No. 1, (Jakarta: UMJ, 2017). Hal. 8.
    [32] Ibid. Hlm. 9.
    [34] Ibid.
    [35] Ibid.
    [36] Ibid.,
    [37] Ibid.


  • You might also like

    No comments:

Search This Blog

Powered by Blogger.

About Me

My photo
Born in the late 20th century, when the country was shaken by shinobi (ninja). At that time the government was held by the shogunate.

Aku dan kataku

NATIONAL ANTHEMS OF QATAR: السلام الاميري | AS-SALĀM AL-ʾAMĪRĪ | PEACE TO THE AMIR

"as-Salām al-ʾAmīrī" (Arabic: السلام الأميري‎, Peace to the Amir) is the national anthem of Qatar, written by al-Shaykh Mubārak bi...