• METODOLOGI PENETAPAN HUKUM BAHTSUL MASA’IL NU DAN MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH

       A.    METODE PENETAPAN HUKUM DI MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH

    Dalam mencari hukum yang ada dalam al-Qur’an dan al-Sunnah para ulama Muhammadiyah menetapkannya dengan melalui musyawarah yang disebut Majelis Tarjih Muhammadiyah. Untuk menetapkan suatu hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah melakukan beberapa cara-cara atau metode-metode penetapan hukum.

         1.      PRINSIP-PRINSIP METODOLOGI PENETAPAN HUKUM

    Pada Munas Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam tahun 2000 di Jakarta merumuskan aspek metodelogis. Prinsip-prinsip metodologis tersebut dirumuskan  sebagai berikut:
            a.       Merubah al-sunnah al-shahihah menjadi al-sunnah al-maqbullah sebagai sumber hukum sesudah al-Qur‟an.
           b.      Posisi ijtihad bukan sumber hukum, yang fungsinya adalah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum yang belum dirumuskan dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.
        c.       Ijtihad meliputi metode bayani (menggunakan kaidah kebahasaan), ta’lili (menggunakan penggunakan „illat hukum), istislahi (menggunakan pendekatan kemaslahatan).
       d.      Manhaj menggunakan empat pendekatan untuk kepentingan menetapkan hukum, yaitu: hermeneutika, sejarah, sosiologis dan antropologis.
           e.       Ijma’, qiyas, maslahah mursalah serta ‘urf berkedudukan sebagai teknik penetapan hukum.
          f.       Ta’arudl al-adillah diselesaikan dengan susunan al-jam’u wa al-taufiq, altarjih, al-naskh, dan al-tawaqquf.
           g.      Tarjih terhadap nash harus mempertimbangkan beberapa segi: segi sanad, segi matan, segi materi hukum dan segi eksternal.
          h.      Hal-hal yang tidak diubah masih tetap berlaku, seperti: Mendasarkan akidah hanya kepada dalil mutawatir, pemahaman terhadap al-Qur'an dan al-Sunnah dilakukan secara koprehensif dan integral, peran akal dalam memahami teks al-Qur'an dan al-Sunnah dapat diterima, Qiyas tidak berlaku dalam masalah ibadah mahdlah dan masalah yang sudah ada nash sharihnya dari al-Qur'an dan atau al-Sunnah untuk memahami nash yang musytarak, paham sahabat dapat diterima, mendahulukan ma’na dlahir daripada ta’wil.[1]

       2.      METODE PENETAPAN HUKUM

    Ulama ushul Majelis Tarjih mencari hukum yang ada dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah dengan menempuh jalan: 1. Istinbath, dengan memahami nash yang jelas (qath’i) 2. Ijtihad, terhadap nash yang belum menunjukkan hukum suatu masalah 3. Ijtihad, juga dalam memahami masalah yang hanya ditunjuk oleh jiwa nash, yakni kemaslahatan.
    Rumusan itu dituangkan dalam bentuk istilah: Ijtihad Bayani, Ijtihad Qiyasi dan Ijtihad Istislahi.
    a.       Ijtihad Bayani Menurut Ulama Hanafiyah, ada lima bayan/keterangan dan sebagian ulama menetapkan hanya satu saja. Namun demikian, kelima bayan tersebut akan dijelaskan satu persatu agar dapat dipahami.
    1.      Bayan Taqrir, ialah penjelasan dalam rangka mengungkapkan suatu makna dengan dasar-dasar lain, memberikan tambahan penjelasan yang dimaksud, baik antara makna kata-kata maupun ungkapan dalam nash atau dalil.
    2.      Bayan Tafsir, ialah penjelasan atau  lafal atau  kata-kata sehingga nash tersebut menjadi lebih jelas maksudnya.
    3.      Bayan Taghyir, ialah keterangan-keterangan yang mengubah dari makna dlahir menjadi makna yang dituju, seperti kata-kata yang mengandung istisna’. Dalam hal ini, mencari mukhasis dari makna yang umum.
    4.      Bayan Tabdil, ialah usaha mencari penjelasan dengan jalan naskh. Maksudnya, mencari apakah ada naskh mansukh dalam masalah yang dicari oleh seorang mujtahid.
    5.      Bayan Dlarurah, ialah keterangan yang tidak disebutkan tetapi tidak boleh tidak harus diungkapkan. Bayan ini tidak berupa kata-kata, tetapi sesuatu yang didiamkan.
    b.      Ijtihad Qiyasi
    Ijtihad ini dilakukan untuk mendapatkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya secara langsung, seperti menghisap ganja. Tetapi ada nash al-Qur‟an dan al-Sunnah yang menunjukkan keharamannya, seperti keharaman khamr.
    c.       Ijtihad Istislahi
    Ijtihad dalam usaha mendapatkan hukum yang tidak ada nash langsung yang mengandung hukum masalah yang dicari, dengan mendasarkan masalah yang akan dicapai. Ijtihad ini dapat ditempuh dengan:
    1.      Metode Istihsan
    a)      Mengecualikan dari qiyas yang berdasar illah jali menggunakan qiyas khafi.
    b)      Mengecualikan dari nash umum yang melarang dengan membolehkannya karena adanya kemaslahat yang akan dicapai atas dasar dlarurat maupun menghindari kesempitan (raf’u alharaj).
    2.      Metode Syaddzu al-Dzariyah
    Yaitu kebalikan dari istihsan. Dalam nash membolehkan melakukan sesuatu itu. Apabila sesuatu hal yang diperbolehkan dalam kondisi tertentu akan membawa mafsadah (kerusakan), maka patut dilarang dengan dasar Syaddzu al-Dzariyah. Artinya, menutup sesuatu (yang diperbolehkan) yang dapat menuju kerusakan.
    3.      Metode Istishlah
    Yakni, mencari ketentuan suatu masalah yang tidak ada ketentuan hukumnya berdasarkan nash, baik yang melarang maupun yang memerintah, dengan dasar kemaslahatan yang akan dicapai. Kemaslahatan yang ingin dicapai itu disebut maslahah mursalah.
    4.      Menetapkan hukum sesuatu didasarkan pada (‘urf) yang telah ada, berlaku, mendatangkan manfaat dan tidak dilarang oleh nash serta tidak mendatangkan mafsadah yang lebih besar.
    5.      Ijtihad dalam menafsirkan ayat kauniyah.Ijtihad ini menafsirkan ayat kauniyah yang mengandung ketentuan sunnatullah, yang berupa gejala alam, yang disebut kauniyah.[2]

    Berbeda organisasi maka berbeda pula cara menetapkan hukumnya

       B.     LAJNAH BAHTSUL MASA’IL NU

    1.      SEPUTAR LAJNAH BAHTSUL MASA’IL NU

    Lajnah Bahtsul Masa‟il NU pada dasarnya adalah forum diskusi dan pengkajian seputar masalah – masalah keagamaan. Sebelum menjadi lembaga yang resmi, perkumpulan diskusi ini menerbitkan hasil dari ijtihad para anggotanya di majalah  LINO (Lailatul Ijtima Nahdlatul Oelama).  Namun, seiring berkembangnya waktu, pada tahun 1989 pada saat Muktamar NU di Yogyakarta, Komisi I Bahtsul Masa‟il merekomendasikan kepada PBNU untuk membentuk secara resmi forum ini. Kemudian pada tanggal 26 – 27 Januari 1990 Lajnah Bahtsul Masa‟il NU diresmikan sebagai salah satu lembaga yang melengkapi pilar – pilar Organisasi Nahdlatul Ulama.[3]
    Lajnah Bahtsul Masa‟il Nu didirikan pada tahun 1926, selang beberapa bulan setelah Nahdlatul Ulama resmi berdiri. Meskipun Lajnah Bahtsul Masa‟il NU ini didirikan setelah berdirinya Nahdlatul Ulama, namun  jiwa – jiwa ijtihad para ulama sebelum NU hadir di Indonesia sudah menampakkan semangat diskusi keagamaan mereka.
    Lajnah Bahtsul Masa‟il ini membahas tentang hukum – hukum fiqh yang berdasarkan kebiasaan masyarakat dan kitab – kitab rujukan dari mazhab ahlussunnah yang dianggap mu‟tabar.[4]
    2.      METODE PENETAPAN HUKUM BAHTSUL MASA’IL NU

    Lajnah Bahtsul Masa‟il adalah lembaga yang menetapkan hukum, pastilah dalam menetapkan hukum memiliki metodologi tersendiri. Sama halnya dengan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Metodologi penetapan hukum Bahtsul Masa‟il NU antara lain adalah :
    a.       Metode Qauly
    Metode ini adalah metode utama yang digunakan untuk menetapkan masalah keagamaan, terlebih fiqh oleh Bahtsul Masa‟il. Cara kerja metode ini dengan merujuk langsung kitab – kitab mazhab yang mu‟tabar. Meskipun mayoritas hasil ijtihad beraliran Syafi‟iyah dalam bermazhab, namun kitab yang dirujuk tak hanya kitab mazhab Syafi‟i saja, namun juga kitab mazhab Hanafi, Maliki, serta Hambali.[5]
    b.      Metode Ilhaqy
    Metode ini dipakai jika seandainya di dalam kitab – kitab mazhab tidak ditemukan hukum yang akan di bahas. Cara kerja metode ini adalah menetapkan masalah baru yang belum ada ketetapan hukumnya dengan masalah lama yang hampir serupa. Jadi, metode ini sama seperti qiyas.[6]
    c.       Metode Manhajy
    Metode ini dipakai manakala metode qauly dan ilhaqiy tidak berhasil, yaitu dengan cara mengikuti metode ijtihad hukum yang dipakai oleh para imam mazhab (Syafi‟i, Hambali, Maliki, Hanafi).[7]

    3.      PROSES TASYRI’ LAJNAH BAHTSUL MASA’IL NU

    1.      Penetapan hukum yang dilakukan bahtsul masail itu adalah respon terhadap pertanyaan-pertanyaan real (waqi‟iyah) pada berbagai daerah dari semua tingkatan organisasi, baik yang diajukan perseorangan atau masyarakat.
    2.      Sebelum di ajukan ke tingkat bahtsul masail Pusat (PBNU) pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah dibahas dalam bahtsul masail sesuai tingkat jajarannya, tetapi tidak mendapat jawaban/solusi yang memuaskan.
    3.      Melakukan identifikasi masalah untuk dipersiapkan jawabannya di pra-sidang bahtsul masail.
    4.      Mencari jawabannya dalam kitab-kitab klasih hingga modern atau artikel/majalah yang ditulis oleh para ulama yang diakui keilmuannya.
    5.      Setelah mendengar argumen dari para peserta LBM dengan landasan redaksional (teks) kitab yang menjadi pegangannya, pimpinan sidang membuat kesimpulan, dan ditawarkan kembali kepada peserta bahtsul masail untuk ditetapkan ketentuan hukumnya secara kolektif (taqrir jam’i).
    6.      Kesimpulan ketetapan hukum seperti itulah yang dalam NU popular dengan Ahkam al-Fuqaha.[8]

    Dalam penulisan hasil keputusan Bahtsul Masa‟il, agar lebih sistematis format kepenulisannya antara lain sebagai berikut :[9]
          a.       Setiap masalah dikemukakan deskripsinya.
          b.      Pertimbangan hukum (tidak selalu ada)
          c.       Rumusan soal (pertanyaan) yang dibahas
          d.      Jawaban (dengan kalimat yang singkat dan jelas)
         e.      Dasar pengambilan (ma‟khadh), yakni kitab-kitab fiiqh madzhab yang menjadi rujukan (referensi)
    f.       Uraian teks/redaksi dalilnya.





    DAFTAR PUSTAKA
    Abdurrahman, A. (2007). Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
    Ahmad Arifin. (2009) “Dinamika Fiqh Pola Madzhab : Kontekstualisasi Bermadzhab dalam Fiqh  NU” Jurnal Asy-Syir’ah. Volume 43, Nomor 1.
    Dr. Ahmad Mahmudi Anshor, M. (2012). Bahth Al-Masail Nahdatul Ulama; Melacak Dinamika Pemikiran Madzhab Kaum Tradisionalis. Yogyakarta: Teras.
    Dr. Ali Sodiqin, d. (2014). Fiqh Ushul Fiqh; Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
    Zahro, D. A. (2004). Lajnah Bahtsul Masa'il 1926 - 1999; Tradisi Intelektual NU. Yogyakarta: LKiS.




    [1]  Ali Sodiqin, 2014, Fiqh Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga), hlm. 233-235.
    [2]  Asjmuni Abdurrahman, 2007, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 105-109.
    [3]  (Dr. Ali Sodiqin, Fiqh dan Ushul Fiqh; Metodologi dan Implementasinya di Indonesi.  2014. Hal. 239
    [4]  Ibid. Hal. 239
    [5]  Dr. Ahmad Zahro. (2004). Lajnah Bahtsul Masa'il 1926 - 1999; Tradisi Intelektual NU. Hal. 118
    [6]  Ibid. hal. 121
    [7]  Ibid. hal. 124
    [8]  Ahmad Arifin, “Dinamika Fiqh Pola Madzhab : Kontekstualisasi Bermadzhab dalam Fiqh  NU” Jurnal Asy-Syir’ah. Volume 43, Nomor 1, (2009), 184.
    [9]  Dr. Ahmad Muhtadi Anshor, M. Ag., Bahth Al-Masail Nahdatul Ulama” Melacak Dinamika Pemikiran Madzhab Kaum Tradisionalis”, hlm.93.
  • You might also like

    No comments:

Search This Blog

Powered by Blogger.

About Me

My photo
Born in the late 20th century, when the country was shaken by shinobi (ninja). At that time the government was held by the shogunate.

Aku dan kataku

NATIONAL ANTHEMS OF QATAR: السلام الاميري | AS-SALĀM AL-ʾAMĪRĪ | PEACE TO THE AMIR

"as-Salām al-ʾAmīrī" (Arabic: السلام الأميري‎, Peace to the Amir) is the national anthem of Qatar, written by al-Shaykh Mubārak bi...