A.
Transaksi Tanah
Transaksi tanah pada hukum adat hakikatnya terdiri dari dua aspek,
yaitu:
1. Transaksi tanah yang merupakan perbuatan hukum sepihak.
2. Transaksi tanah yang merupakan perbuatan hukum dua pihak.
Sebagai contoh dari transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum
sepihak adalah pendirian suatu desa dan pembukaan tanah oleh seorang warga
persekutuan. Sedangkan mengenai transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum
dua pihak contohnya adalah pengoperan atau penyerahan sebidang tanah yang
disertai oleh pembayaran kontan dari pihak lain pada saat itu juga epada pihak
penerima tanah dan pembayaran tanah. Perbuatan hukum ini dalam hukum tanah
disebut “transaksi jual” dalam bahasa Jawa disebut ”adol” atau ”sade”.
Transaksi jual ini menurut isinya dapat dibedakan dalam tiga macam,
yaitu sebagai berikut:[1]
1. Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai ketentuan bahwa
yang menyerahkan tanah dapat memiliki kembali tanah tersebut dengan pembayaran
sejumlah uang (sesuai dengan perjanjian yang disepakati).
2. Penyerahan tanah dengan pembayaran ontan tanpa syarat, jadi untuk
seterusnya atau selamanya dimiliki oleh pembeli tanah.
3. Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai perjanjian bahwa
apabila kemudian tidak ada perbuatan hukum lai, sesudah satu dua tahun atau
beberapa kali panen, tanah itu kembali lagi kepada pemilik tanah semula.
Agar
transaksi tanah sah, artinya dalam perbuatan hukum atau mendapat perlindungan
hukum, wajib dilakukan dengan bantuan kepada persekutuan agar perbuatan hukum
ini menjadi terang, dan atas bantuan kepala perssekutuan lazimnya ia menerima
uang saksi.
Apabila
transaksi ini di luar pengetahuan, maka transaksi tersebut tidak diakui oleh
hukum adat dan oleh karenanya pihak ketiga tidak terikat olehnya serta oleh
umum, si penerima tanah tidak diakui haknya atas tanah yang bersangkutan,
perbuatan ini dianggap perbuatan yang tidak terang. Pada umumnya untuk
transaksi- transaksi ini didibuatkan suatu akta yang ditandatangani (cap
jempol) oleh yang menyerahkan serta dibubuhi pula tanda tangan kepala
persekutuan dan saksi- saksi, akta ini adalah merupakan suatu bukti.[2]
Lebih
dalam lagi macam transaksi di atas disebut sebagai berikut:[3]
1.
Menjual
gadai
Dalam
hal ini yang menerima tanah berhak untuk mengerjakan tanah serta untuk memungut
hasil dari tanah itu dan ia hanya terikat oleh janjinya bahwa tanah hanya dapat
ditebus oleh yang menjual gadai bila ia sangat membutuhkan uang, hanya dapat di
tebus oleh yang menjual gadai, bila ia sangat membutuhkan uang hanya dapat
menjual lagi gadai tanah itu kepada orang lain, tetapi tidak boleh menjual
lepas tanah tesebut. Begitu pula ia tidak meminta kembali uang yang diberikannya
kepada yang menjual gadai, tetapi dalam transaksi yang demikian biasanya
disertai pula dengan berbagai tambahan perjanjian seperti:
a)
Jika
tidak ditebus dalam masa yang dijanjikan maka tanah tersebut menjadi milik yang
membeli gadai.
b)
Tanah
tidak boleh ditebus selama satu tahun, dua atau beberapa tahun dalam tangan
pembeli gadai.
Pada
umunnya tanah dikembalikan dalam keadaan seperti pada waktu tanah itu
diserahkan. transaksi- transaksi seperti ini kejadiannya terdapat di seluruh
indonesia.
2.
Menjual
lepas
Dalam hal ini yang membeli lepas
memperoleh hak milik atas tanah yang dibelinya, sedangkan pembayaran dilakukan
di hadapan kepala persekutuan.
3.
Menjual
tahunan
Ini merupakan suatu bentuk
menyewakan tanah. Transaksi tanah yang seperti ini di luar jawa tidak begitu
dikenal, mengenai lamanya waktu transaksi ini tidak tentu.
B.
Transaksi-transaksi yang Ada Hubungannya dengan Tanah
Dalam transaksi seperti iniyang menjadi obyeknya adalah bukan
tanah, tetapi hanya mempunyai hubungan dengan tanah seperti:[4]
1.
Di
Jawa di sebut “maro”; Priangan “nengah”; Jawa “mertelu”
atau dalam bahasa Priangan kata lainnya disebut “jejuran” (Bagi Hasil).
Transaksi
diatas terjadi apabila pemilik tanah memberi izin kepada orang lain untuk
mengerjakan tanahnya dengan perjanjian bahwa yang mendapat izin harus
memberikan sebagian hasil tanahnya kepada pemilik tanah.
Dasar
terjadinya transaksi ini adalah karena pemilik tanah ingin memungut hasil dari
tanahnya atau ingin memanfaatkan tanahnya, tetapi ia tidak dapat mengerjakannya
sendiri dengan fungsi menjadikan tanah tersebut produktif tanpa pemilik
mengerjakannya sendiri. Dalam hal ini penggarap tanah tidak dapat menagih
selama ia masih diperbolehkan mengerjakan tanah yang bersangkutan
2.
Sewa
Sewa
adalah suatu transaksi yang mengizinkan orang lain mengerjakan/mengolah
tanahnya atau untuk tinggal atau untuk tinggal di tanahnya dengan membayar uang
sewa yang tetap sesudah tiap panen atau sesudah tiap bulan atau tiap tahunnya.
Apabila
pada transaksi sewa penyewa membayarkan uang muka, lebih-lebih jika uang muka
yang dibayar dimaksudkan untuk waktu yang agak lama.
3.
“Tanggungan”
atau “jonggolan” di Jawa
Transaksi
ini terjadi apabila seseorang yang berhutang berjanji kepada orang yang memberi
pinjaman, bahwa selama sebelum melunasi hutangnya ia tidak akan mengadakan
transaksi mengenai tanahnya kecuali dengan pemberi hutang.
Jika
waktu yang dijanjikan sudah lampau dan utang tidak dapat dilunasi, maka tanah
yang dijadikan tanggungan wajib dikorbankan untuk melunasi hutangnya.
4.
“Numpang” atau “magersari” di Jawa atau di Priangan disebut “lindung”
Bentuk
transaksi ini terjadi jika seorang pemilik tanah yang bertempat tinggal ditanah
itu memberi izin kepada orang lain untuk membuat rumah yang kemudian ditempati
olehnya diatas tanah yang dimaksud juga sekaligus menimbulkan satu transaksi
yang kemudian disebut “numpang”.
5.
Memperduai
atau sewa bersama-sama dengan gadai
Transaksi
ini merupakan transaksi gabungan antara transaksi tanah dengan transaksi yang
berhubungan dengan tanah, dapat terjadi apabila si A yang menerima tanah yang
digadaikan, memberikan izin kepada B (pemilik tanah yang menggadaikantanah)
untuk mengerjakan tanah tersebut dengan perjanjian memperduai atau sewa.
6.
Titip
Transaksi
ini terjadi dimana suatu transaksi seorang memberi izin kepada orang lain yang
tidak berhak untuk menggunakan tanahnya, sekaligus memelihara untuknya. Adapun
penyebab terjadinya transaksi ini biasanya adalah:
a)
Untuk
sementara pemilik tanah meninggalkan tempat kediamannya dimana tanah itu
berada, sehingga tidak dapat menggunakan tanah tersebut.
b)
Tanah
milik keluarga atau famili, karena tidak mungkin semua anggota keluarga yang
memiliki tanah tersebut mengerjakan dan memelihara tanah dimaksud, maka oleh
keluarga yang bersangkutan tanah itu dititipkan kepada seorang anggota famili
lain atau dapat juga kepada salah seorang ahli waris.[5]
C.
Sejarah Penguasaan Tanah di Jawa Barat
Sejarah penguasaan tanah di Jawa Barat, terutama yang
menyangkut pemilikan dan penguasaan tanah, sangat sukar ditelusuri karena
sangat terbatasnya sumber informasi yang bisa mengungkapkannya. Keterangan tentang
hal pemilikan dan penguasaan tanah baru diperoleh sekitar pertengahan abad
ke-19, ketika Pemerintah kolonial mulai menyadari pentingnya data penduduk dan
penguasaan tanah. Hal inipun sebenarnya lebih ditujukan untuk kepentingan
pemerintah kolonial memungut pajak dan menarik penduduk untuk kerja wajib
daripada memperhatikan hak-hak rakyat atas tanah. Dikarenakan kurangnya
informasi tersebut, bagian ini lebih menekankan perkembangan penguasaan tanah
setelah memasuki zaman kolonial.
Beberapa informasi (Boomgard
1993 dan Burger 1960) memuat keterangan bahwa sebelum penguasa asing hadir,
tepatnya sebelum masuknya VOC ke wilayah Nusantara, kehidupan ekonomi
masyarakat desa sangat sederhana. Masyarakat masih mengupayakan sistem
pertanian subsisten yang hanya memproduksi barang-barang untuk dikonsumsi
sendiri. Sumberdaya tanah pada waktu itu relatif tak terbatas, artinya orang
dapat menguasai tanah sebanyak yang mampu ia kerjakan sendiri. Persoalan yang
muncul pada saat itu bukan bagaimana menguasai tanah, tetapi lebih ke persoalan
bagaimana menguasai sumberdaya manusia lebih banyak agar dapat mengusahakan
tanah yang telah dikuasai.
Dalam hal penguasaan
tanah, lebih lanjut Boomgard berpendapat bahwa di Jawa Barat pada waktu itu
terdapat dua bentuk penguasaan tanah, yaitu penguasaan dengan hak milik
perorangan dan penguasaan tanah komunal. Kedua bentuk penguasaan tanah tersebut
muncul secara bersamaan. Hak penguasaan tanah komunal tercipta ketika
sekelompok penduduk membuka lahan hutan secara bersamasama untuk dijadikan
lahan pertanian kemudian dipergunakan secara bersama-sama pula atau dengan
sistem bergilir. Dengan demikian, penduduk yang menggunakan tanah tersebut,
baik berupa tanah sikep, tanah bengkok, maupun tanah titisara,
hanya mempunyai hak pakai. Sedangkan tanah dengan pemilikan individual tercipta
ketika seseorang membuka hutan untuk kepentingan keluarganya sendiri.[6]
D.
Transaksi-transaksi Tanah di Jawa Barat
1.
Sewa
Menyewa Tanah
Sewa menyewa tanah terjadi baik
dengan pembayaran uang maupun dengan hasil bumi. Persewaan tanah yang dapat
disewakan ialah tanah-tanah yang mempunyai hak milik. Sedangkan tanah yang
ditanami kopi atau lapangan pengembalaan umum tidak dapat disewakan.[7]
Apabila tanah itu disewakan untuk
lebih dari 6 tahun kecuali 6 tahun yang pertama maka sekali dalam 2 tahun tanah
yang disewa itu harus diserahkan kembali kepada yang menyewakan untuk digarap.[8]
2.
Bagi
Hasil
Cara
membagi hasil ada beberapa macam: maro (memperdua), mertelu (mempertiga) dan sebagainya.
Perjanjian tanah baru terlaksana dengan menyediakan tanah oleh pihak yang
bersangkutan.
Beda
antara perjanjian bagi hasil dan perjanjian menyewa tanah ialah bahwa pada
perjanjian menyewa pekerja atau penggarap sesudah memungut hasil menyerahkan
jumlah uang tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya kepada yang berhak,
penggarap atau pekerja memikul resiko terbesar.
Pada
umumnya waktu untuk mengadakan perjanjian membagi hasil ini ialah 1 musim. Hak
ini dapat dioperkan.[9]
3.
Gadai
Tanah
Gadai
tidak lain adalah perjanjian dimana sebidang tanah diserahkan kepada orang lain
dengan pembayaran sejumlah uang dan berkewajiban untuk mengembalikan tanah
tersebut kalau uang yang telah dibayarkan itu diserahkan kembali.
Sering
pula ditetapkan jangka waktu untuk menebusnya kembali. Kalau jangka waktu yang
telah ditetapakan sudah habis dan belum menebusnya, maka sang pemilik tanah
meminta uang tebusannya, apabila tidak maka bisa dengan penambahan uang
sehingga sama dengan harga penjualan.
Kalau
jangka waktu tidak ditetapkan maka pemilik tanah menurut hukum adat tidak boleh
menebus sebelum pemegang gadai itu mendapatkan hasil sekurang-kurangnya satu
musim dan hak gadai ini dapat diwariskan.[10]
DAFTAR
PUSTAKA
.
Mertokusumo, Sudikno. 2011. Perundang-undangan
Agraria Indonesia. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
Suhendar, Endang. 1995. Ketimpangan
Penguasaan Tanah di Jawa Barat. Bandung: Yayasan AKATIGA
Wulansari, Dewi. 2010. Hukum Adat Indonesia Suatu pengantar.
Bandung: PT. Refika Aditama.
[1]
Soerojo Wignjodipoero. 1983. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat.
Jakarta: Haji Masagung. hlm. 207.
[2]
Dewi Wulansari. 2010. Hukum Adat
Indonesia Suatu pengantar. Bandung: PT. Refika Aditama. hlm. 90.
[3]
Soerojo Wignjodipoero. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. hlm. 208-210.
[4]
Ibid. hlm. 211-215; Bushar Muhammad. 1991. Pokok-pokok Hukum Adat.
Jakarta: Pradnja Paramita. hlm. 117-120.
[5]
Dewi Wulansari. Hukum Adat Indonesia Suatu pengantar. hlm. 92-95
[6]
Endang Suhendar. 1995. Ketimpangan Penguasaan Tanah di Jawa Barat.
Bandung: Yayasan AKATIGA. hlm. 09-10.
[7]
Sudikno
Mertokusumo. 2011. Perundang-undangan Agraria Indonesia. Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta. hlm. 33.
[8]
Ibid. hlm. 81-82
[9]
Ibid. hlm. 33
[10]
Ibid,. hlm. 34-35
No comments:
Post a Comment