• JALAN – JALAN

    Jalan-jalan merupakan hobiku sejak dulu. Menikmati indahnya destinasi ciptaan Tuhan membuatku nyaman berbaur dengan alam. Berpindah tempat dari timur ke barat, bahkan seluruh penjuru mata angin hanya membuang waktuku untuk berjalan-jalan. Jika memang ada sesuatu baru yang aku temukan di tengah jalan, berarti itu hanyalah sebuah kebetulan.

    Hanya kita berdua yang tahu jalan-jalanku mau pergi kemana. Ya, aku dan belalangku, teman setia yang menemaniku jalan-jalan. Berkat jalan-jalan, aku dapat melihat dunia baruku. Wawasan, pengetahuan dan banyak hal yang aku temukan dalam menghiasi cakrawala kehidupan. Setiap aku temukan sesuatu yang baru, aku curahkan isi hatiku pada belalangku. Tetapi sombongnya, dia tidak pernah menasehatiku. Aku hanya bisa menulis curahan hatiku sebagai bentuk kenangan jalan-jalanku.

    Pada jalan-jalan yang kesekian kalinya aku hinggap di suatu tempat. Sama sekali tidak aku duga bertemu denganmu. Aku menatapmu. Menyapamu dengan senyum. Melihat bola matamu. Balik menatapku. Seakan menjawab sapaanku dengan senyuman yang kamu tumpahkan dari bibirmu.

    Aku tidak bisa mengendalikan perasaanku. Apa yang ada dalam fikiranku. Tidak bisa rasanya aku mendustakan perasaanku. Senyummu itu, bola matamu itu, bibirmu itu, wajahmu itu. Aku mengolah kata untuk bisa mendekatimu. Tapi bukan aku orangnya yang pandai mengolah kata-kata. Karena, orang-orang mengenalku bukan sebagai perangkai kata-kata, jalan-jalan yang mereka tahu mengenai hobiku.

    Tiba-tiba aku ingin berjumpa denganmu. Tapi aku tidak tahu apakah kamu ingin berjumpa denganku. Saat tiba di suatu persinggahan kamu mengatakan padaku “aku membencimu.” Perkataan yang membuatku tertegun dan terdiam seribu bahasa. Tidak habis otakku berjalan-jalan untuk berfikir. Aku bingung terhadap perasaanku. Apa yang harus aku lakukan setelah mendengar perkataan itu.

    Kenapa aku harus terjebak dalam suasana seperti itu? Apakah Tuhan menghukumku dengan suatu perkataan itu? Atau apa iya Tuhan memberikan pelajaran bagiku bahwa kebencian Tuhan lebih pedih dari perkataan itu? Nampaknya Tuhan menghendakiku untuk terus berjalan-jalan agar tahu maksud perkataan itu.

    Alunan suara berbahasa Arab yang terdengar dari pengeras suara surau dan masjid membangunkanku besertaan dengan melirik ponselku pagi itu. Sampailah setelah sadar aku berjalan-jalan mengingat perkataan itu. Merenung dalam sepi dibalik satir yang menutupiku, seperti halnya renungan Kesatria Kumbakarna dalam wiracarita Ramayana.

    Sungguh aku penasaran, benarkah Tuhan menghukumku atau mengajariku untuk tangguh menghadapi kebencian. Ah cecak sialan itu tiba-tiba datang, berjalan-jalan berdecak menyebalkan. Mungkin antara ikut berkabung atau bahkan menertawakan.

    Menyusuri jalan, singgah di tempat keramaian, bertemu dengan makhluk-makhluk yang kadang menyebalkan. Kesana kemari, kanan dan kiri mencari tahu mengapa perkataan itu terucap dan apa makna dari perkataan itu. Tiada habis-habisnya aku membuang waktuku untuk berjalan-jalan. Sudah sering aku bilang! Itulah ritusku, jalan-jalan.

    Aku coba tanyakan perkataan itu kepada teman-teman yang aku temui saat jalan-jalan. Sial, mereka menjawab pertanyaanku dengan perkataan “Kamu harus terus jalan-jalan, masih banyak tempat jalan-jalan yang lebih menarik.” Jawaban yang sangat familier dengan penuh penafsiran yang mereka berikan padaku.

    Sampainya istirahat setelah aku habiskan waktuku untuk jalan-jalan, kamu datang menghampiriku disaat sedang bersandar. Aku menatapmu. Menyapamu dengan senyum. Melihat bola matamu. Balik menatapku. Seakan menjawab sapaanku dengan senyuman yang kamu tumpahkan dari bibirmu. Tiba-tiba kamu mengatakan “aku membencimu.” Aku hanya diam dan membisu. Kamu pun hanya diam dan membisu. Aku pergi ke tempat jalan-jalanku, kamu pun pergi ke tempat jalan-jalanmu. Aku dan kamu berjalan-jalan pada tempat yang berbeda.

    Lemahkah aku tidak mampu mengetahui makna perkataan itu? Apakah aku mengecewakanmu? Aku tidak tahu lagi kepada siapa aku harus mengadu. Hanya Tuhan harapanku untuk membukakan makna dari perkataan itu. Sampai-sampai aku tidak fokus pada ritual jalan-jalanku.

    Ya Tuhan, sebenarnya apa yang salah denganku ini? Mungkin aku hanya mengira bahwa air samudera yang aku lihat kemarin sangat dangkal. Maafkan aku Tuhan telah berfikiran ceroboh seperti itu. Tidak, sebenarnya hanya belalangku saja yang harus diperbanyak makanannya agar terus menemaniku berjalan-jalan.

    Jalan-jalan menerjang pekatnya hujan dini hari. Menutupi diri dari kerumunan orang-orang bahwa sebenarnya aku sedang bersedih. Akankah kamu biarkan air mataku ini menderas mengikuti air hujan yang mengarah ke selokan kumuh itu? Berkata dalam lirih dan berharap kamu bersedia mengusap air mataku ini.

    Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, aku masih tertegun. Atau aku harus tinggalkan jalan-jalanku hanya untuk menunggumu berkata jujur tentang perkataanmu. Aku teringat kembali perkataanmu kala itu yang sedikit menyadarkanku dan mempertegas bahwa kamu sebenarnya sudah menjadi milik orang lain.

    Dengarkan aku malaikatku. Maafkan aku bila aku begitu menyebalkan bagimu. Tapi aku tidak kuasa menahan kesedihan ini setelah melihatmu dan membiarkanmu menjadi milik orang lain. Namun, aku tidak mungkin seperti Raja Alengka yang berjalan-jalan merebut Dewi Sinta secara sah milik Sri Rama dari genggamannya. Aku tidak mungkin merebutmu dari tangannya.

    Berikan aku setitik harapan untuk memilikimu, meski hanya sebatas senyumanmu. Kita mungkin tidak bisa bersama karena memang kamu berjalan-jalan lebih pada kehendakmu. Kamu memilih dia mengukir naskah cerita jalan-jalanmu bersamanya. Aku pun tidak bisa memaksakanmu berjalan-jalan denganku. Setidaknya, jangan lemahkan aku untuk mengukir naskah ceritaku berjalan-jalan bersama denganmu. Karena sesungguhnya, inilah aku yang dengan tulus mencintaimu.

    والله تعالى اعلم


    الفقير الى رحمة الله تعالى:
    احمد شوقى اولى الثانى

  • You might also like

    No comments:

Search This Blog

Powered by Blogger.

About Me

My photo
Born in the late 20th century, when the country was shaken by shinobi (ninja). At that time the government was held by the shogunate.

Aku dan kataku

NATIONAL ANTHEMS OF QATAR: السلام الاميري | AS-SALĀM AL-ʾAMĪRĪ | PEACE TO THE AMIR

"as-Salām al-ʾAmīrī" (Arabic: السلام الأميري‎, Peace to the Amir) is the national anthem of Qatar, written by al-Shaykh Mubārak bi...