A.
Pengertian Hukum Tradisi Hindu
Hukum adalah peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam
kehidupan sehari-hari, baik yang ditetapkan oleh penguasa pemerintah maupun
berlakunya secara alamiyah. Unsur-unsur terpenting dalam peraturan hukum memuat
dua hal, yaitu :
1.
Unsur
yang bersifat mengatur atau normatif.
2.
Unsur
yang bersifat memaksa atau represif.
Bentuk hukum Tuhan yang murni dalam ajaran agama Hindu disebut Rta
atau Rita, yaitu Tuhan yang murni bersifat absolut transendental. Rta
adalah hukum Tuhan yang besifat abadi, Rta ini kemudia dijabarkan ke dalam
tingkah laku manusia dan disebut Dharma. Dalam Weda, Kitab Smerti dianggap
sebagai kitab hukum Hindu, karena di dalamnya banyak memuat tentang syarat hukum
yang disebut Dharma. Istilah lain tentang hukum dalam ajaran Hindu adalah
Widhi, Dresta, Acara, Agama, Wyawahara, Nitisastra, rajaniti dan Artasastra.
Namun, dari sekian banyak istilah tersebut yang paling umum dalam ilmu hukum
adalah Dharma. Disini kata dharma mengandung dua hal, yaitu:
1.
Dharma
mengandung pengertian norma
2. Dharma
mengandung pengertian keharusan, yang jika dilanggar dapat dipaksakan dengan
ancaman sanksi/denda.[1]
peraturan-peraturan
tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik yang ditetapkan oleh
penguasa pemerintah maupun berlakunya secara alamiyah. [2]
Sedangkan
Tradisi atau kebiasaan (Latin: traditio, "diteruskan") adalah
sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan
suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang
sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis
maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.[3]
Kemudian istilah Hindu yang dipergunakan sekarang sebagai
nama agama pada umumnya tidak dikenal pada zaman klasik. Beratus-ratus tahun
sebelum tahun masehi, pengenut ajaran kitab suci Weda tumbuh subur dan
berkembang pesat dalam masyarakat, sehingga para ahli menyebutkannya dengan
nama agama Weda atau zaman Weda.
Kemudian Hindu dipakai nama dengan mengambil nama tempat di
mana agama itu mulai berkembang, yakni di sekitar sungai Sindu atau Indus. Kata
Sindu inilah yang kemudian berubah menjadi kata Hindu karena terkena pengaruh
hukum metathesis dalam bahasa sansakerta di mana penggunaan huruf “S” dan “h”
dapat ditukar-tukar, misalnya kata “Soma” dapat menjadi kata “Homa”, kata
“Satima” dapat menjadi kata “Hatima” dan sebagainya.[4]
B.
Sumber-sumber Hukum Hindu
Sumber-sumber hukum Hindu dibagi menjadi dua, yaitu:
1.
Sumber
Hukum Menurut Ilmu
Pendapat Prof. L. Oppenheim yang menyatakan bahwa masalah sumber
hukum itu masih belum ada kesepakatan sebagai akibat daripada perbedaan
pandangan dan pemakaian daripada istilah sumber hukum itu sendiri. Pemikian
seperti ini kita jumpai juga dalam tulisan Prof. Mr. Dr. L. J. van Apeldoorn
yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang berjudul “pengantar
ilmu hukum”.[5]
Sebagai akibat dari adanya perbedaan pengertian dan penggunaan
menurut pengertiannya, masing-masing sumber hukum itu ditinjau dari berbagai
hubungannya, yaitu:
a.
Sumber
hukum dalam arti sejarah
Sumber hukum dalam arti sejarah adalah peninjauaan dasar-dasar
hukum yang digunakan oleh para ahli sejarah dalam menyusun dan meninjau
pertumbuhan suatu bangsa terutama di bidang politik, sosial, kebudayaan, hukum
dan lain-lain, termasuk berbagai lembaga negara. Yang terpenting dalam
peninjauan ini adalah untuk memberikan kedudukan yang kuat kepada
lembaga-lembaga yang dimaksud dalam sistem politik yang ada. Dalam hal ini
peninjauan sistem hukum dalam arti sejarah, dalam rangka peninjauan
sumber-sumber hukum Hindu sebagaimana yang kita jumpai dalam negara dewasa ini,
tidak dapat dilepaskan untuk tidak mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan
cara peninjauan ini.[6]
b.
Sumber
hukum dalam arti sosiologis
Di dalam penggunaan sumber hukum dalam arti sosiologis dan yang umumnya
dipergunakan oleh para sosiolog dalam menyusun thesa-thesanya, sumber hukum itu
dilihat dari keadaan ekonomi masyarakat pada zaman-zaman sebelumnya. Turut
mendapat penilaian dalam pandangan sosial ini adalah tentang peranan pengaruh
pikiran atau budaya masyarakat yang terutama bersumber dari konsep-konsep agama
dan kepercayaan mereka. Di dalam penggunaan sistem ini, sumber-sumber hukum
dalam arti sosiologis tidak berdiri sendiri, melainkan harus ditunjang oleh
data-data sejarah dari masyarakat itu sendiri.[7]
c.
Sumber
hukum dalam arti filsafat
Dalam pengertian sumber hukum dalam arti filsafat, sumber hukum
yang dimaksud sebagai dasar dari pembentukan ini kaidah-kaidah hukum itu
sendiri. Bila yang dimaksud adalah sebagai sumber dalam perumusan ini dan pengisian
jiwa dari pada hukum itu sendiri, maka dapat dijelaskan bahwa sumber-sumber ini
dapat bersumber dari sumber-sumber yang banyak dan luas. Isi sumber itu sendiri
meliputi seluruh proses pembentukan yang diresepir sejak zaman dahulu sampai zaman
sekarang. Ini dapat kita jelaskan kalau kita memperhatikan proses pertumbuhan
hukum itu sendiri yang selalu berkembang dan berubah dari zaman ke zaman.[8]
d.
Sumber
hukum dalam arti formil
Menurut Prof. Mr. Dr. L. J. van Apeldoorn bahwa peninjauan sumber
hukum dalam arti perktis adalah sumber pada sumber-sumber formil. Formil
menurut beliau karena timbulnya dan dibuatnya berdasarkan cara dan bentuk yang
dapat menimbulkan hukum positif itu.
Umumnya sumber-sumber hukum dalam arti formil ini melihat
sumber-sumber hukum itu pada dasar-dasar yang pasti dan bersifat formil,
seperti: 1) Undang-undang 2) Kebiasaan 3) Traktat.
Undang-undang dalam bidang ilmu hukum selalu dibedakan antara
undang-undang dalam arti materil dan undang-undang dalam arti formil. Undang-undang
dalam arti materil menunjuk pada kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan yang
berlaku menjadi sandaran dalam bertingkah laku bagi seseorang. Dalam arti
formil, undang-undang itu bersifat mengabdi pada hukum materil. Hukum yang
bersifat formil itupun adalah hukum yang bersifat materil sehingga, dengan
demikian hukum itupun tidak lebih merupakan kaidah-kaidah hukum materil yang
dipergunakan sebagai sandaran dalam mempertahankan hukum materil itu sendiri.
Dalam praktek perbedaan antara hukum materil dan hukum formil ini, hukum
materil adalah kitab undang-undang itu sendiri, sedangkan hukum formil adalah
kitab hukum acaranya.[9]
2.
Sumber
hukum Menurut Weda
Untuk mendapatkan gambaran bagaimana Weda menentukan sumber-sumber
hukum itu, sumber utama yang dijelaskan sumber-sumber hukum itu (Dharma) dapat
kita lihat di dalam kitab Weda/ Smriti (Manawadharmasastra) uraian II. 6-14. Adapun
yang terpenting dalam pasal-pasal itu adalah II. 6 dan II. 10.
Menurut Manu Smriti II. 6,
sumber hukum Hindu (Dharma) berturut-turut dalam urutannya sebagai berikut:
a.
Sruti
(Wahyu).
b.
Smriti
(Kodifikasi).
c.
Sila,
yaitu tingkah laku yang baik dari orang-orang yang mendalami Weda.
d.
Sadacara
atau acara, yaitu adat kebiasaan setempat.
e.
Atamanastuti,
yaitu rasa puas pada diri.
Walaupun telah kita ihat adanya penciutan sumber-sumber hukum Hindu
itu, yaitu tidak dengan menyebutkan sila sebagai sumber Hindu, namun para
sarjana hukum Hindu di India seperti Dr. P. N. Sen, Dr. G. C. Sarkar dan
lain-lain umumnya tetap beranggapan dan mengembangkan kelima macam jenis sumber
hukum Hindu itu dan mempergunakan sistem penempatan urutan seperti disebut
dalam Manu Smirti II. 6 tersebut di atas, dengan demikian maka sumber Hindu itu
meneurut Ilmu dan tradisi itu adalah:
a.
Sruti
b.
Smriti
c.
Acara
d.
Atma
Tusti
e.
Nibandha
Untuk dapat mengerti hubungan dan kedudukan dari sumber-sumber
hukum itu, berikut ini akan dijelaskan satu persatunya.[10]
a.
Sruti
sebagai sumber hukum Hindu
Di dalam manawadhramasastra II. 10 dikatakan: “sutristu wedo
wijneyo dharasastram tu wai smrtih, te sarmathawam imamsye tabyam dharmohi
nirbhau”.
Artinya: Sesungguhnya sruti adalah weda, Smriti itu dharma sastra
keduanya tidak boleh diragukan apa pun juga, karena keduanya adalah kitab suci
yang menjadi sumber dari hukum (Dharma).
Dari pasal itu, jelas bahwa Sruti yang ditunjuk dari pasal-pasal
itu adalah Weda. Sebagaimana dengan weda dharmasastra dinyatakan juga sebagai
sumber hukum. Istilah hukum ini diterjemahkan dari kata dharma. Selanjutnya
mengenai weda sebagai sumber hukum utama, dapat kita lihat dari pasal II. 6
yang dirumuskan sebagai berikut:
“Wedo’khilo dharma mulam smriti sile ca tad widam, acarasca iwa
sadhunam atmanas tustirewa ca”
Artinya: seluruh weda adalah sumber utama dari hukum, kemudian
Smriti dan tingkah laku orang-orang baik, kebiasaan dan akhirnya adalah atmanas
tusti (rasa puas pada diri sendiri).
Dari kedua pasal itu MD II. 6 dan MD II. 10, kita dihadapkan pada
suatu keadaan hukum dimana dinyatakan dengan tegas bahwa Weda atau sruti adalah
sumbersumber hukum Hindu, yang harus diterima dan diakui kekuatannya. Yang
harus diperhatikan adalah pengertian Weda dalam bidang ilmu karena tidak sama
artinya dengan Weda dalam pengertian hukum itu, Weda dalam bidang ilmu
menyangkut bidang yang sangat luas sehingga Sruti dan Smriti diartikan weda
dalam tradisi Hindu. Ilmu hukum Hindu sendiri membatasi arti weda itu pada
kitab Sruti saja, sebagaimana ditegaskan pada pasal II. 10 di atas.
Adapun kitab-kitab yang tergolong jenis kitab Sruti menurut tradisi
Hindu adalah kitab-kitab Mantra, Brahmana dan Aranyaka. Kitab-kitab Mantra ini
sendiri terdiri atas empat buah buku yaitu: Rg. Weda, Sama Weda, Yajur Weda dan
Atharwa Weda. Kitab Brahmana terdiri atas beberapa buah kitab Brahmana
merupakan bagian dari pada tiap-tiap kitab Sruti. Di samping itu terdapat pula
seratus buah kitab Aranyaka. Baik kitab-kitab mantra, kitab-kitab Brahmana dan
kitab-kitab Aranyaka, kesemuanya adalah kitab-kitab yang digolongkan kitab
Sruti dan karena itu semuanya dianggap sebagai sumber hukum Hindu.[11]
b.
Smriti
sebagai sumber hukum Hindu
Sebagaimana halnya dengan Sruti, Smriti dianggap sebagai sumber
hukum kedua setelah Sruti. Smriti merupakan kitab-kitab teknis yang memuat
kodifikasi berbagai masalah yang terdapat di dalam Sruti. Smriti bersifat pengkhususuan yang memuat
penjelasan-penjelasan otentis. Penafsiran dan penjelasan otentis dibidang
ajaran hukum (Dharma) dihimpun dalam satu buku yang disebut Dharmasutra.
Dharmasutra ini kemudian dijadikan himpunan baru dalam bentuk kodifikasi hukum
(Dharma) dari ajaran Manu oleh Bhrgu. Himpunan inilah yang disebut Dharmasastra
atau Manawadharmasastra, menurut nama yang menyampaikan ajaran itu. Kitab ini
merupakan bagian dari enam buah kitab Weda dan merupakan bagian dari pada Weda.
Karena itu Manawadharmasastra adalah kitab Wedangga. Kelompok jenis kitab
Smriti lainnya adalah kelompok Upawesa. Dengan demikian kitab Smriti sebagai
sumber hukum Hindu dibedakan antara dua macam kelompok buku, yaitu: 1. Kelompok
jenis wedangga, dan 2. Kelompok jenis Upaweda (Weda tambahan).
Kalau dari ketujuh kitab Dharmasastra itu kita perhatikan lebih
lanjut, ternyata kitab-kitab itu di samping sebagai penghimpun kaidah-kaidah
hukum yang berlaku bagi umat beragama Hindu, ternyata kitab-kitab itu merupakan
komentar-komentar terhadap kitabnya Manu, sehingga dengan demikian yang
bersifat murni adalah kitab Manu itu sendiri. Di samping itu secara tradisional
telah ditetapkan pengelompokan kitab Dharmasastra itu menjadi empat kelompok
menurut jamannya masing-masing, sesuai dengan adanya pembagian empat tahap
periodisasi dunia. Keempat masa periode dunia yang dihubungkan dengan Kitab
Dharmasastra itu ialah:
1.
Zaman Satyayuga berlaku Dharmasastranya Manu.
2.
Zaman
Tritayuga berlaku Dharmasastranya Yajnawalkya.
3.
Zaman
Dwaparayuga berlaku Dharmasastranya Sankha-Likhita.
4.
Zaman
Kaliyuga berlaku Dharmasastranya Parasara..
Walaupun zaman sekarang tergolong zaman Kaliyuga tetapi hingga
sekarang pengaruh dan penggunaan Manawadharmasastra sebagai sumber hukum tetap
berlaku, sedangkan himpunan Bhagawan Parasara hampirhampir tidak banyak kita
dengar. Oleh karena itu, dalam berbagai hukum baik, dalam rangka pembaharuan
hukum, kitab Manawadharmasastra tetap menjadi standart yang dipertimbangkan.
Ini kita lihat misalnya sebagaimana terdapat dalam pembaharuan hukum-hukum
Hindu di India., yang mencoba mengawinkan pendapat-pendapat ahli pikir baru
seperti Jimutawahana, Yajnawalkya dan Bayabhaga di dalam petrapan
Manawadharmasastra di India.[12]
c.
Sila
sebagai sumber hukum ketiga
MD II. 6 menunjuk “Sila” sebagai sumber hukum setelah Smriti.
Sedangkan menurut pasal 12 dalam bab yang sama “Sila” tidak disebut-sebut lagi.
Istilah Sila dalam hubungan pengertian di atas tidak sama dengan pengertian
kata “Sila” yang dipergunakan “Pancasila”. Sila adalah tingkah laku baik yang
dilakukan oleh orang-orang suci yang mengetahui Weda. Tingkah laku ini
merupakan standar atau ukuran yang dapat dijadikan ukuran menilai tingkah laku
seseorang. Tingkah laku yang dimaksud meliputi perbuatan, kata-kata atau
lainnya. Umumnya yang dipergunakan sebagai standar adalah tingkah laku para
maharesi atau nabi-nabi sehingga dapat kita bandingkan seperti sunnah dalam
sistem hukum Islam. Kaidah-kaidah hukumnya tidak tertulis sebagaimana dengan
Smriti. Dengan demikian maka “Sila” tidak dapat diartikan hukum dalam arti
sebenarnya walaupun kaedah-kaedahnya menjadi dasar hukum dalam hukum positif.[13]
d.
Sadacara
sebagai sumber hukum keempat
Baik di dalam Bab II pasal 6 maupun pasal 12 dari bab yang sama
menurut MD, acara atau sadacara dianggap merupakan sumber hukum Hindu positif.
Demikian pula sikap pandang para sarjana hukum Hindu, selalu berpendapat bahwa
di samping Smriti, acara atau kebiasaan dianggap sebagai sumber hukum pula.
Antara Sila dan Sadacara hampir terdapat persamaan.
Sadacara sebagai hukum kebiasaan adalah sebagai istilah untuk
menyebutkan kebiasaan yang terdapat menurut tempat setempat. Di dalam terjemahannya
ke dalam bahasa Jawa kuno istilah sadacara diartikan sama dengan drsta. Baik
drsta maupun acara adalah hukum kebiasaan.[14]
e.
Atmana
Tusti sebagai sumber hukum kelima
Atmana(s) artinya diri sendiri atau pikiran sendiri. Di dalam
bahasa Inggris biasanya diterjemahkan dengan kata “one’s self”. Tusti artinya
puas atau senang. Dengan demikian atmanas tusti artinya rasa puas (senang) pada
diri sendiri.
Rasa senang atau puas sendiri dijadikan ukuran untuk suatu hukum
karena setiap keputusan atau tingkah laku yang dilakukan oleh seseorang,
kesemuanya mempunyai akibat. Akibat ini dapat berupa kesenangan dan dapat pula
menimbulkan penderitaan. Suatu akibat yang selalu diharapkan adalah yang selalu
memberi rasa puas pada diri seseorang. Ini merupakan ukuran yang selalu akan
kita jumpai di dalam menciptakan keadilan.
Karena rasa puas itu sangat relatif dan subyektif, pada umumnya
sandaran hukum ini tidak mutlak dipergunakan. Oleh karena itu berdasarkan MD
XII. 109/115, pemutusan suatu masalah kaedah hukum di mana kebenarannya masih
diragukan, keputusan harus diambil secara majelis oleh (parisad). Untuk
mendapatkan keputusan yang baik dan dapat diterima oleh umum, anggota Parisad
harus terdiri dari para ahli dalam bidang kitab suci dan logika (nyaya).
Tujuannya adalah untuk memberikan jaminan rasa adil dan puas dari para pihak
sendiri.
Dari ketentuan itu maka peranan atmanas tusti sebagai sumber hukum
hanya akan kita jumpai bila terjadi perbedaan pendapat di antara para pihak
bersengketa, sedangkan aturan-aturan tertulis menurut sastra tiada atau belum
dijumpai.[15]
f.
Nibandha
sebagai sumber hukum Hindu
Nibandha adalah nama yang diberikan kepada jenis buku-buku sastra
yang isinya membahas tentang masalah tertentu yang telah dijumpai. Jenis kitab
seperti ini dapat berupa kritik sastra, atau gubahan-gubahan baru dengan
komentar yang memberi pandangan tertentu menurut pikiran penulis sendiri
terhadap suatu hal yang telah dibicarakan.
Istilah lain untuk Nibandha adalah Kitab Bhasya. Jenis-jenis rontal
yang membahas pandangan tertentu yang telah terdapat sebelumnya inipun
tergolong Nibandhasastra pula. Dengan demikian gubahan-gubahan seperti
Agamasastra, Kutaramanawa, Manusasana, Putrasasana, Resi sasana dan
lain-lainnya yang masih banyak lagi yang bisa kita sebutkan, semuanya merupakan
kelompok Nibandhasastra. Sebagai jenis Nibandha, menurut pandangan Hindu
tradisionil, inipun dianggap sebagai sumber dari pada Dharma.[16]
C.
Bidang-bidang
Hukum Hindu
Bidang-bidang hukum Hindu sesuai dengan sumber hukum Hindu yang
paling terkenal adalah Manawa Dharmasastra yang mengambil sumber ajaran
Dharmasastra yang paling tua, adapun pembagian terdiri dari :
1.
Bidang
Hukum Keagamaan
Bidang ini banyak memuat ajaran-ajaran yang mengatur tentang tata
cara keagamaan, yaitu menyangkut tentang antara lain:
a.
Bahwa
semua alam semesta ini diciptakan dan dipelihara oleh suatu hukum yang disebut
rta atau dharma.
b. Ajaran-ajaran
yang diturunkan bersifat anjuran dan larangan yang semuanya mengandung
konskwensi atau akibat (sangsi).
c. Tiap-tiap
ajaran mengandung sifat relatif yaitu dapat disesuaikan dengan zaman atau waktu
dan dimana tempat dan kedudukan hukum itu dilaksanakan, dan absolut berarti
mengikat dan wajib hukumnya dilaksankan.
d.
Pengertian
warna dharma berdasarkan pengertian golongan fungsional.
2.
Bidang
Hukum Kemasyarakatan
Bidang ini banyak memuat tentang aturan atau tata cara hidup
bermasyarakat satu dengan yang lainnya, atau sosial. Dalam bidang ini banyak
diatur tentang konskewensi atau akibat dari sebuah pelanggaran, kalau kita
telusuri lebih jauh saat ini lebih dikenal dengan perdata dan pidana. Lembaga
yang memegang peranan penting yang mengurusi tata kemasyarakatan adalah Badan
Legislatif menurut hukum Hindu adalah Parisadha. Lembaga ini dapat membantu
menyelesaikan masalah dengan cara pendekatan perdamaian sebelum nantinya kalau
tidak memungkinkan masuk ke pengadilan.
3.
Bidang
Hukum Tata Kenegaraan
Bidang ini banyak memuat tentang tata cara bernegara, dimana
terjalinnya hubungan warga masyarakat dengan negara sebagai pengatur tata
pemerintahan yang juga menyangkut hubungan dengan bidang keagamaan. Disamping
sistem pembagian wilayah administrasi dalam suatu negara, hukum Hindu ini juga
mengatur sistem masyarakat menjadi kelompok-kelompok hukum yang disebut Warna,
Kula, Gotra, Ghana, Puga dan Sreni, pembagian ini tidak bersifat kaku karena
dapat disesuaikan dengan perkembnagan zaman. Kekuasaan Yudikatif diletakan pada
tangan seorang raja atau kepala negara, beliau bertugas memutuskan memutuskan
semua perkara yang timbul pada masyarakat, raja dibantu oleh Dewan Brahmana
yang merupakan Majelis Hakim Ahli, baik sebagai lembaga yang berdiri sendiri
maupun sebagai pembantu pemerintah didalam memutuskan perkara dalam sidang
pengadilan (dharma sabha), pengadilan biasa (dharmaastha), pengadilan tinggi
(pradiwaka) dan pengadilan istimewa.[17]
DAFTAR
PUSTAKA
Referensi Buku:
Pudja, Gede. 1977. Hukum
Kewarisan Hindu yang diresepir kedalam Hukum Adat di Bali dan Lombok.
Jakarta: C.V. Junasco.
Website:
https://id.wikipedia.org/wiki/Tradisi diakses pada 10 Mei 2018 pukul 23.51 WIB.
Budi
C. G. dalam www.cakepane.blogspot.com/p/ajaran-dharma.html diakses pada 10 Mei 2018 pukul 23.17 WIB.
Wiasa,
I Putu Darma dalam http://darmawiasa.blogspot.co.id/2016/12/hukum-menurut-perspektif-hindu.html diakses pada tanggal 10 Mei 2018 pukul 22.48 WIB.
[2]
Budi C. G. dalam www.cakepane.blogspot.com/p/ajaran-dharma.html
diakses pada 10 Mei 2018 pukul 23.17 WIB.
[5]
Gede Pudja. 1977. Hukum Kewarisan Hindu yang diresepir kedalam Hukum Adat di
Bali dan Lombok. Jakarta: C.V. Junasco. hlm. 21.
[6]
Ibid. hlm. 22.
[7]
Ibid. hlm. 23.
[8]
Ibid.
[9]
Ibid. hlm. 24.
[10]
Ibid. hlm. 28-29.
[11]
Ibid. hlm. 29-30.
[12]
Ibid. hlm. 31-32.
[13]
Ibid. hlm. 32-33.
[14]
Ibid. hlm. 33.
[15]
Ibid. hlm. 33-34.
[16]
Ibid. hlm. 34-35.
[17]
I Putu Darma Wiasa dalam http://darmawiasa.blogspot.co.id/2016/12/hukum-menurut-perspektif-hindu.html
diakses pada tanggal 10 Mei 2018 pukul 22.48 WIB.
No comments:
Post a Comment