• HINDUST LEGAL TRADITION


      A.    Pengertian Hukum Tradisi Hindu
    Hukum adalah peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik yang ditetapkan oleh penguasa pemerintah maupun berlakunya secara alamiyah. Unsur-unsur terpenting dalam peraturan hukum memuat dua hal, yaitu :
    1.      Unsur yang bersifat mengatur atau normatif.
    2.      Unsur yang bersifat memaksa atau represif.
    Bentuk hukum Tuhan yang murni dalam ajaran agama Hindu disebut Rta atau Rita, yaitu Tuhan yang murni bersifat absolut transendental. Rta adalah hukum Tuhan yang besifat abadi, Rta ini kemudia dijabarkan ke dalam tingkah laku manusia dan disebut Dharma. Dalam Weda, Kitab Smerti dianggap sebagai kitab hukum Hindu, karena di dalamnya banyak memuat tentang syarat hukum yang disebut Dharma. Istilah lain tentang hukum dalam ajaran Hindu adalah Widhi, Dresta, Acara, Agama, Wyawahara, Nitisastra, rajaniti dan Artasastra. Namun, dari sekian banyak istilah tersebut yang paling umum dalam ilmu hukum adalah Dharma. Disini kata dharma mengandung dua hal, yaitu:
    1.      Dharma mengandung pengertian norma
    2.  Dharma mengandung pengertian keharusan, yang jika dilanggar dapat dipaksakan dengan ancaman sanksi/denda.[1]
    peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik yang ditetapkan oleh penguasa pemerintah maupun berlakunya secara alamiyah. [2]
    Sedangkan Tradisi atau kebiasaan (Latintraditio, "diteruskan") adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negarakebudayaanwaktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.[3]
    Kemudian istilah Hindu yang dipergunakan sekarang sebagai nama agama pada umumnya tidak dikenal pada zaman klasik. Beratus-ratus tahun sebelum tahun masehi, pengenut ajaran kitab suci Weda tumbuh subur dan berkembang pesat dalam masyarakat, sehingga para ahli menyebutkannya dengan nama agama Weda atau zaman Weda.
    Kemudian Hindu dipakai nama dengan mengambil nama tempat di mana agama itu mulai berkembang, yakni di sekitar sungai Sindu atau Indus. Kata Sindu inilah yang kemudian berubah menjadi kata Hindu karena terkena pengaruh hukum metathesis dalam bahasa sansakerta di mana penggunaan huruf “S” dan “h” dapat ditukar-tukar, misalnya kata “Soma” dapat menjadi kata “Homa”, kata “Satima” dapat menjadi kata “Hatima” dan sebagainya.[4]

      B.     Sumber-sumber Hukum Hindu
    Sumber-sumber hukum Hindu dibagi menjadi dua, yaitu:
    1.      Sumber Hukum Menurut Ilmu
    Pendapat Prof. L. Oppenheim yang menyatakan bahwa masalah sumber hukum itu masih belum ada kesepakatan sebagai akibat daripada perbedaan pandangan dan pemakaian daripada istilah sumber hukum itu sendiri. Pemikian seperti ini kita jumpai juga dalam tulisan Prof. Mr. Dr. L. J. van Apeldoorn yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang berjudul “pengantar ilmu hukum”.[5]
    Sebagai akibat dari adanya perbedaan pengertian dan penggunaan menurut pengertiannya, masing-masing sumber hukum itu ditinjau dari berbagai hubungannya, yaitu:
    a.       Sumber hukum dalam arti sejarah
    Sumber hukum dalam arti sejarah adalah peninjauaan dasar-dasar hukum yang digunakan oleh para ahli sejarah dalam menyusun dan meninjau pertumbuhan suatu bangsa terutama di bidang politik, sosial, kebudayaan, hukum dan lain-lain, termasuk berbagai lembaga negara. Yang terpenting dalam peninjauan ini adalah untuk memberikan kedudukan yang kuat kepada lembaga-lembaga yang dimaksud dalam sistem politik yang ada. Dalam hal ini peninjauan sistem hukum dalam arti sejarah, dalam rangka peninjauan sumber-sumber hukum Hindu sebagaimana yang kita jumpai dalam negara dewasa ini, tidak dapat dilepaskan untuk tidak mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan cara peninjauan ini.[6]
    b.      Sumber hukum dalam arti sosiologis
    Di dalam penggunaan sumber hukum dalam arti sosiologis dan yang umumnya dipergunakan oleh para sosiolog dalam menyusun thesa-thesanya, sumber hukum itu dilihat dari keadaan ekonomi masyarakat pada zaman-zaman sebelumnya. Turut mendapat penilaian dalam pandangan sosial ini adalah tentang peranan pengaruh pikiran atau budaya masyarakat yang terutama bersumber dari konsep-konsep agama dan kepercayaan mereka. Di dalam penggunaan sistem ini, sumber-sumber hukum dalam arti sosiologis tidak berdiri sendiri, melainkan harus ditunjang oleh data-data sejarah dari masyarakat itu sendiri.[7]
    c.       Sumber hukum dalam arti filsafat
    Dalam pengertian sumber hukum dalam arti filsafat, sumber hukum yang dimaksud sebagai dasar dari pembentukan ini kaidah-kaidah hukum itu sendiri. Bila yang dimaksud adalah sebagai sumber dalam perumusan ini dan pengisian jiwa dari pada hukum itu sendiri, maka dapat dijelaskan bahwa sumber-sumber ini dapat bersumber dari sumber-sumber yang banyak dan luas. Isi sumber itu sendiri meliputi seluruh proses pembentukan yang diresepir sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang. Ini dapat kita jelaskan kalau kita memperhatikan proses pertumbuhan hukum itu sendiri yang selalu berkembang dan berubah dari zaman ke zaman.[8]
    d.      Sumber hukum dalam arti formil
    Menurut Prof. Mr. Dr. L. J. van Apeldoorn bahwa peninjauan sumber hukum dalam arti perktis adalah sumber pada sumber-sumber formil. Formil menurut beliau karena timbulnya dan dibuatnya berdasarkan cara dan bentuk yang dapat menimbulkan hukum positif itu.
    Umumnya sumber-sumber hukum dalam arti formil ini melihat sumber-sumber hukum itu pada dasar-dasar yang pasti dan bersifat formil, seperti: 1) Undang-undang 2) Kebiasaan 3) Traktat.
    Undang-undang dalam bidang ilmu hukum selalu dibedakan antara undang-undang dalam arti materil dan undang-undang dalam arti formil. Undang-undang dalam arti materil menunjuk pada kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan yang berlaku menjadi sandaran dalam bertingkah laku bagi seseorang. Dalam arti formil, undang-undang itu bersifat mengabdi pada hukum materil. Hukum yang bersifat formil itupun adalah hukum yang bersifat materil sehingga, dengan demikian hukum itupun tidak lebih merupakan kaidah-kaidah hukum materil yang dipergunakan sebagai sandaran dalam mempertahankan hukum materil itu sendiri. Dalam praktek perbedaan antara hukum materil dan hukum formil ini, hukum materil adalah kitab undang-undang itu sendiri, sedangkan hukum formil adalah kitab hukum acaranya.[9]
    2.      Sumber hukum Menurut Weda
    Untuk mendapatkan gambaran bagaimana Weda menentukan sumber-sumber hukum itu, sumber utama yang dijelaskan sumber-sumber hukum itu (Dharma) dapat kita lihat di dalam kitab Weda/ Smriti (Manawadharmasastra) uraian II. 6-14. Adapun yang terpenting dalam pasal-pasal itu adalah II. 6 dan II. 10.
    Menurut Manu Smriti  II. 6, sumber hukum Hindu (Dharma) berturut-turut dalam urutannya sebagai berikut:
    a.       Sruti (Wahyu).
    b.      Smriti (Kodifikasi).
    c.       Sila, yaitu tingkah laku yang baik dari orang-orang yang mendalami Weda.
    d.      Sadacara atau acara, yaitu adat kebiasaan setempat.
    e.       Atamanastuti, yaitu rasa puas pada diri.
    Walaupun telah kita ihat adanya penciutan sumber-sumber hukum Hindu itu, yaitu tidak dengan menyebutkan sila sebagai sumber Hindu, namun para sarjana hukum Hindu di India seperti Dr. P. N. Sen, Dr. G. C. Sarkar dan lain-lain umumnya tetap beranggapan dan mengembangkan kelima macam jenis sumber hukum Hindu itu dan mempergunakan sistem penempatan urutan seperti disebut dalam Manu Smirti II. 6 tersebut di atas, dengan demikian maka sumber Hindu itu meneurut Ilmu dan tradisi itu adalah:
    a.       Sruti
    b.      Smriti
    c.       Acara
    d.      Atma Tusti
    e.       Nibandha
    Untuk dapat mengerti hubungan dan kedudukan dari sumber-sumber hukum itu, berikut ini akan dijelaskan satu persatunya.[10]
    a.       Sruti sebagai sumber hukum Hindu
    Di dalam manawadhramasastra II. 10 dikatakan: “sutristu wedo wijneyo dharasastram tu wai smrtih, te sarmathawam imamsye tabyam dharmohi nirbhau”.
    Artinya: Sesungguhnya sruti adalah weda, Smriti itu dharma sastra keduanya tidak boleh diragukan apa pun juga, karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber dari hukum (Dharma).
    Dari pasal itu, jelas bahwa Sruti yang ditunjuk dari pasal-pasal itu adalah Weda. Sebagaimana dengan weda dharmasastra dinyatakan juga sebagai sumber hukum. Istilah hukum ini diterjemahkan dari kata dharma. Selanjutnya mengenai weda sebagai sumber hukum utama, dapat kita lihat dari pasal II. 6 yang dirumuskan sebagai berikut:
    Wedo’khilo dharma mulam smriti sile ca tad widam, acarasca iwa sadhunam atmanas tustirewa ca”
    Artinya: seluruh weda adalah sumber utama dari hukum, kemudian Smriti dan tingkah laku orang-orang baik, kebiasaan dan akhirnya adalah atmanas tusti (rasa puas pada diri sendiri).
    Dari kedua pasal itu MD II. 6 dan MD II. 10, kita dihadapkan pada suatu keadaan hukum dimana dinyatakan dengan tegas bahwa Weda atau sruti adalah sumbersumber hukum Hindu, yang harus diterima dan diakui kekuatannya. Yang harus diperhatikan adalah pengertian Weda dalam bidang ilmu karena tidak sama artinya dengan Weda dalam pengertian hukum itu, Weda dalam bidang ilmu menyangkut bidang yang sangat luas sehingga Sruti dan Smriti diartikan weda dalam tradisi Hindu. Ilmu hukum Hindu sendiri membatasi arti weda itu pada kitab Sruti saja, sebagaimana ditegaskan pada pasal II. 10 di atas.
    Adapun kitab-kitab yang tergolong jenis kitab Sruti menurut tradisi Hindu adalah kitab-kitab Mantra, Brahmana dan Aranyaka. Kitab-kitab Mantra ini sendiri terdiri atas empat buah buku yaitu: Rg. Weda, Sama Weda, Yajur Weda dan Atharwa Weda. Kitab Brahmana terdiri atas beberapa buah kitab Brahmana merupakan bagian dari pada tiap-tiap kitab Sruti. Di samping itu terdapat pula seratus buah kitab Aranyaka. Baik kitab-kitab mantra, kitab-kitab Brahmana dan kitab-kitab Aranyaka, kesemuanya adalah kitab-kitab yang digolongkan kitab Sruti dan karena itu semuanya dianggap sebagai sumber hukum Hindu.[11]
    b.      Smriti sebagai sumber hukum Hindu
    Sebagaimana halnya dengan Sruti, Smriti dianggap sebagai sumber hukum kedua setelah Sruti. Smriti merupakan kitab-kitab teknis yang memuat kodifikasi berbagai masalah yang terdapat di dalam Sruti.  Smriti bersifat pengkhususuan yang memuat penjelasan-penjelasan otentis. Penafsiran dan penjelasan otentis dibidang ajaran hukum (Dharma) dihimpun dalam satu buku yang disebut Dharmasutra. Dharmasutra ini kemudian dijadikan himpunan baru dalam bentuk kodifikasi hukum (Dharma) dari ajaran Manu oleh Bhrgu. Himpunan inilah yang disebut Dharmasastra atau Manawadharmasastra, menurut nama yang menyampaikan ajaran itu. Kitab ini merupakan bagian dari enam buah kitab Weda dan merupakan bagian dari pada Weda. Karena itu Manawadharmasastra adalah kitab Wedangga. Kelompok jenis kitab Smriti lainnya adalah kelompok Upawesa. Dengan demikian kitab Smriti sebagai sumber hukum Hindu dibedakan antara dua macam kelompok buku, yaitu: 1. Kelompok jenis wedangga, dan 2. Kelompok jenis Upaweda (Weda tambahan).
    Kalau dari ketujuh kitab Dharmasastra itu kita perhatikan lebih lanjut, ternyata kitab-kitab itu di samping sebagai penghimpun kaidah-kaidah hukum yang berlaku bagi umat beragama Hindu, ternyata kitab-kitab itu merupakan komentar-komentar terhadap kitabnya Manu, sehingga dengan demikian yang bersifat murni adalah kitab Manu itu sendiri. Di samping itu secara tradisional telah ditetapkan pengelompokan kitab Dharmasastra itu menjadi empat kelompok menurut jamannya masing-masing, sesuai dengan adanya pembagian empat tahap periodisasi dunia. Keempat masa periode dunia yang dihubungkan dengan Kitab Dharmasastra itu ialah:
    1.      Zaman  Satyayuga berlaku Dharmasastranya Manu.
    2.      Zaman Tritayuga berlaku Dharmasastranya Yajnawalkya.
    3.      Zaman Dwaparayuga berlaku Dharmasastranya Sankha-Likhita.
    4.      Zaman Kaliyuga berlaku Dharmasastranya Parasara..
    Walaupun zaman sekarang tergolong zaman Kaliyuga tetapi hingga sekarang pengaruh dan penggunaan Manawadharmasastra sebagai sumber hukum tetap berlaku, sedangkan himpunan Bhagawan Parasara hampirhampir tidak banyak kita dengar. Oleh karena itu, dalam berbagai hukum baik, dalam rangka pembaharuan hukum, kitab Manawadharmasastra tetap menjadi standart yang dipertimbangkan. Ini kita lihat misalnya sebagaimana terdapat dalam pembaharuan hukum-hukum Hindu di India., yang mencoba mengawinkan pendapat-pendapat ahli pikir baru seperti Jimutawahana, Yajnawalkya dan Bayabhaga di dalam petrapan Manawadharmasastra di India.[12]
    c.       Sila sebagai sumber hukum ketiga
    MD II. 6 menunjuk “Sila” sebagai sumber hukum setelah Smriti. Sedangkan menurut pasal 12 dalam bab yang sama “Sila” tidak disebut-sebut lagi. Istilah Sila dalam hubungan pengertian di atas tidak sama dengan pengertian kata “Sila” yang dipergunakan “Pancasila”. Sila adalah tingkah laku baik yang dilakukan oleh orang-orang suci yang mengetahui Weda. Tingkah laku ini merupakan standar atau ukuran yang dapat dijadikan ukuran menilai tingkah laku seseorang. Tingkah laku yang dimaksud meliputi perbuatan, kata-kata atau lainnya. Umumnya yang dipergunakan sebagai standar adalah tingkah laku para maharesi atau nabi-nabi sehingga dapat kita bandingkan seperti sunnah dalam sistem hukum Islam. Kaidah-kaidah hukumnya tidak tertulis sebagaimana dengan Smriti. Dengan demikian maka “Sila” tidak dapat diartikan hukum dalam arti sebenarnya walaupun kaedah-kaedahnya menjadi dasar hukum dalam hukum positif.[13]
    d.      Sadacara sebagai sumber hukum keempat
    Baik di dalam Bab II pasal 6 maupun pasal 12 dari bab yang sama menurut MD, acara atau sadacara dianggap merupakan sumber hukum Hindu positif. Demikian pula sikap pandang para sarjana hukum Hindu, selalu berpendapat bahwa di samping Smriti, acara atau kebiasaan dianggap sebagai sumber hukum pula. Antara Sila dan Sadacara hampir terdapat persamaan.
    Sadacara sebagai hukum kebiasaan adalah sebagai istilah untuk menyebutkan kebiasaan yang terdapat menurut tempat setempat. Di dalam terjemahannya ke dalam bahasa Jawa kuno istilah sadacara diartikan sama dengan drsta. Baik drsta maupun acara adalah hukum kebiasaan.[14]
    e.       Atmana Tusti sebagai sumber hukum kelima
    Atmana(s) artinya diri sendiri atau pikiran sendiri. Di dalam bahasa Inggris biasanya diterjemahkan dengan kata “one’s self”. Tusti artinya puas atau senang. Dengan demikian atmanas tusti artinya rasa puas (senang) pada diri sendiri.
    Rasa senang atau puas sendiri dijadikan ukuran untuk suatu hukum karena setiap keputusan atau tingkah laku yang dilakukan oleh seseorang, kesemuanya mempunyai akibat. Akibat ini dapat berupa kesenangan dan dapat pula menimbulkan penderitaan. Suatu akibat yang selalu diharapkan adalah yang selalu memberi rasa puas pada diri seseorang. Ini merupakan ukuran yang selalu akan kita jumpai di dalam menciptakan keadilan.
    Karena rasa puas itu sangat relatif dan subyektif, pada umumnya sandaran hukum ini tidak mutlak dipergunakan. Oleh karena itu berdasarkan MD XII. 109/115, pemutusan suatu masalah kaedah hukum di mana kebenarannya masih diragukan, keputusan harus diambil secara majelis oleh (parisad). Untuk mendapatkan keputusan yang baik dan dapat diterima oleh umum, anggota Parisad harus terdiri dari para ahli dalam bidang kitab suci dan logika (nyaya). Tujuannya adalah untuk memberikan jaminan rasa adil dan puas dari para pihak sendiri.
    Dari ketentuan itu maka peranan atmanas tusti sebagai sumber hukum hanya akan kita jumpai bila terjadi perbedaan pendapat di antara para pihak bersengketa, sedangkan aturan-aturan tertulis menurut sastra tiada atau belum dijumpai.[15]
    f.       Nibandha sebagai sumber hukum Hindu
    Nibandha adalah nama yang diberikan kepada jenis buku-buku sastra yang isinya membahas tentang masalah tertentu yang telah dijumpai. Jenis kitab seperti ini dapat berupa kritik sastra, atau gubahan-gubahan baru dengan komentar yang memberi pandangan tertentu menurut pikiran penulis sendiri terhadap suatu hal yang telah dibicarakan.
    Istilah lain untuk Nibandha adalah Kitab Bhasya. Jenis-jenis rontal yang membahas pandangan tertentu yang telah terdapat sebelumnya inipun tergolong Nibandhasastra pula. Dengan demikian gubahan-gubahan seperti Agamasastra, Kutaramanawa, Manusasana, Putrasasana, Resi sasana dan lain-lainnya yang masih banyak lagi yang bisa kita sebutkan, semuanya merupakan kelompok Nibandhasastra. Sebagai jenis Nibandha, menurut pandangan Hindu tradisionil, inipun dianggap sebagai sumber dari pada Dharma.[16]

      C.     Bidang-bidang Hukum Hindu
    Bidang-bidang hukum Hindu sesuai dengan sumber hukum Hindu yang paling terkenal adalah Manawa Dharmasastra yang mengambil sumber ajaran Dharmasastra yang paling tua, adapun pembagian terdiri dari :
    1.      Bidang Hukum Keagamaan
    Bidang ini banyak memuat ajaran-ajaran yang mengatur tentang tata cara keagamaan, yaitu menyangkut tentang antara lain:
    a.       Bahwa semua alam semesta ini diciptakan dan dipelihara oleh suatu hukum yang disebut rta atau dharma.
    b.     Ajaran-ajaran yang diturunkan bersifat anjuran dan larangan yang semuanya mengandung konskwensi atau akibat (sangsi).
    c.   Tiap-tiap ajaran mengandung sifat relatif yaitu dapat disesuaikan dengan zaman atau waktu dan dimana tempat dan kedudukan hukum itu dilaksanakan, dan absolut berarti mengikat dan wajib hukumnya dilaksankan.
    d.      Pengertian warna dharma berdasarkan pengertian golongan fungsional.
    2.      Bidang Hukum Kemasyarakatan
    Bidang ini banyak memuat tentang aturan atau tata cara hidup bermasyarakat satu dengan yang lainnya, atau sosial. Dalam bidang ini banyak diatur tentang konskewensi atau akibat dari sebuah pelanggaran, kalau kita telusuri lebih jauh saat ini lebih dikenal dengan perdata dan pidana. Lembaga yang memegang peranan penting yang mengurusi tata kemasyarakatan adalah Badan Legislatif menurut hukum Hindu adalah Parisadha. Lembaga ini dapat membantu menyelesaikan masalah dengan cara pendekatan perdamaian sebelum nantinya kalau tidak memungkinkan masuk ke pengadilan.
    3.      Bidang Hukum Tata Kenegaraan

    Bidang ini banyak memuat tentang tata cara bernegara, dimana terjalinnya hubungan warga masyarakat dengan negara sebagai pengatur tata pemerintahan yang juga menyangkut hubungan dengan bidang keagamaan. Disamping sistem pembagian wilayah administrasi dalam suatu negara, hukum Hindu ini juga mengatur sistem masyarakat menjadi kelompok-kelompok hukum yang disebut Warna, Kula, Gotra, Ghana, Puga dan Sreni, pembagian ini tidak bersifat kaku karena dapat disesuaikan dengan perkembnagan zaman. Kekuasaan Yudikatif diletakan pada tangan seorang raja atau kepala negara, beliau bertugas memutuskan memutuskan semua perkara yang timbul pada masyarakat, raja dibantu oleh Dewan Brahmana yang merupakan Majelis Hakim Ahli, baik sebagai lembaga yang berdiri sendiri maupun sebagai pembantu pemerintah didalam memutuskan perkara dalam sidang pengadilan (dharma sabha), pengadilan biasa (dharmaastha), pengadilan tinggi (pradiwaka) dan pengadilan istimewa.[17]


    DAFTAR PUSTAKA
    Referensi Buku:
    Pudja, Gede. 1977. Hukum Kewarisan Hindu yang diresepir kedalam Hukum Adat di Bali dan Lombok. Jakarta: C.V. Junasco.

    Website:
    https://id.wikipedia.org/wiki/Tradisi diakses pada 10 Mei 2018 pukul 23.51 WIB.
    Budi C. G. dalam www.cakepane.blogspot.com/p/ajaran-dharma.html diakses pada 10 Mei 2018 pukul 23.17 WIB.
    Yana, Dika dalam www.diva-yana.blogspot.co.id  diakses pada tanggal 10 Mei 2018 pukul 16.22 WIB.

    Wiasa, I Putu Darma dalam http://darmawiasa.blogspot.co.id/2016/12/hukum-menurut-perspektif-hindu.html diakses pada tanggal 10 Mei 2018 pukul 22.48 WIB.




    [1] Dika Yana dalam www.diva-yana.blogspot.co.id  diakses pada tanggal 10 Mei 2018 pukul 16.22 WIB.
    [2] Budi C. G. dalam www.cakepane.blogspot.com/p/ajaran-dharma.html diakses pada 10 Mei 2018 pukul 23.17 WIB.
    [3] https://id.wikipedia.org/wiki/Tradisi diakses pada 10 Mei 2018 pukul 23.51 WIB.
    [5] Gede Pudja. 1977. Hukum Kewarisan Hindu yang diresepir kedalam Hukum Adat di Bali dan Lombok. Jakarta: C.V. Junasco. hlm. 21.
    [6] Ibid. hlm. 22.
    [7] Ibid. hlm. 23.
    [8] Ibid.
    [9] Ibid. hlm. 24.
    [10] Ibid. hlm. 28-29.
    [11] Ibid. hlm. 29-30.
    [12] Ibid. hlm. 31-32.
    [13] Ibid. hlm. 32-33.
    [14] Ibid. hlm. 33.
    [15] Ibid. hlm. 33-34.
    [16] Ibid. hlm. 34-35.
    [17] I Putu Darma Wiasa dalam http://darmawiasa.blogspot.co.id/2016/12/hukum-menurut-perspektif-hindu.html diakses pada tanggal 10 Mei 2018 pukul 22.48 WIB.



  • You might also like

    No comments:

Search This Blog

Powered by Blogger.

About Me

My photo
Born in the late 20th century, when the country was shaken by shinobi (ninja). At that time the government was held by the shogunate.

Aku dan kataku

NATIONAL ANTHEMS OF QATAR: السلام الاميري | AS-SALĀM AL-ʾAMĪRĪ | PEACE TO THE AMIR

"as-Salām al-ʾAmīrī" (Arabic: السلام الأميري‎, Peace to the Amir) is the national anthem of Qatar, written by al-Shaykh Mubārak bi...