• POLIGAMI DALAM BUDAYA POPULER (Surat An-Nisa Ayat 3)


    Budaya Populer
    Budaya Populer (dikenal juga sebagai budaya Pop) adalah totalitas ide, perspektif, perilaku, meme, citra, dan fenomena lainnya yang dipilih oleh konsensus informal di dalam arus utama sebuah budaya, khususnya oleh budaya Barat di awal hingga pertengahan abad ke-20 dan arus utama global yang muncul pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Dengan pengaruh besar dari media massa, kumpulan ide ini menembus kehidupan masyarakat. Budaya Populeruler dipandang sebagai sesuatu yang sepele dalam rangka mencari penerimaan konsensual melalui yang arus utama. Akibatnya, budaya Populeruler muncul dari balik kritisisme sengit dari berbagai sumber nonarus utama (khususnya kelompok-kelompok agama dan kelompok kontra budaya) yang menganggapnya sebagai superfisial, konsumeris, sensasionalis, dan rusak.[1]
    Istilah "budaya populer" muncul pada abad ke-19 atau lebih awal untuk merujuk pada pendidikan dan "culturedness" pada kelas bawah. Istilah tersebut mulai menganggap pengertian budaya kelas bawah terpisah (dan terkadang bertentangan dengan) "pendidikan sejati" menuju akhir abad, penggunaan yang kemudian menjadi mapan ketika periode antar perang. Pengertian saat ini atas istilah tersebut, budaya untuk konsumsi massa, khususnya bermula di Amerika Serikat, digunakan pada akhir Perang Dunia II.[2] Bentuk singkatnya "budaya Populer" berawal dari tahun 1960-an. Budaya Populeruler awalnya berkembang di Eropa, lebih banyak diasumsikan dengan budaya yang melekat dengan kelas sosial bawah yang membedakannya dengan budaya tinggi dari kelas yang elit. Budaya Populeruler juga sering kali didekatkan dengan istilah 'mass culture' atau budaya massa, yang diproduksi secara masal dan dikonsumsi secara masal juga. Jadi, budaya lokal adalah produk budaya yang bersifat pabrikan, yang ada di mana-mana dan tidak memerlukan usaha untuk mengkonsumsinya.

    Latar Belakang Budaya Populer dalam Surat An-Nisa Ayat 3
    Poligami sudah dipraktikkan umat manusia jauh sebelum Islam datang. Rasulullah Saw. membatasi poligami sampai empat orang isteri. Sebelum adanya pembatasan ini para sahabat sudah banyak yang mempraktikkan poligami melebihi dari empat isteri, seperti lima isteri, sepuluh isteri, bahkan lebih dari itu. Mereka melakukan hal itu sebelum mereka memeluk Islam, seperti yang dialami oleh Qais bin al-Harits. Ia berkata: Aku masuk Islam dan aku mempunyai delapan isteri, lalu aku datang kepada Nabi Saw. dan menyampaikan hal itu kepada beliau lalu beliau berkata: “Pilih dari mereka empat orang.” (HR. Ibnu Majah). Hal ini juga dialami oleh Ghailan bin Salamah al- Tsaqafi ketika memeluk Islam. Ia memiliki sepuluh isteri pada masa Jahiliah yang semuanya juga memeluk Islam. Maka Nabi Saw. menyuruhnya untuk memilih empat orang dari sepuluh isterinya (HR. al-Tirmidzi).
    Jadi poligami sudah lama dipraktikkan oleh umat manusia jauh sebelum Nabi Muhammad Saw. melakukan poligami. Nabi-nabi sebelum Muhammad juga banyak yang melakukan poligami, seperti Nabi Daud a.s., Nabi Sulaiman a.s., dan begitu juga umat-umatnya. Masyarakat Jahiliah dalam waktu yang cukup lama mentradisikan poligami dalam jumlah yang tidak terbatas hingga datangnya Islam. Sebagian dari orang Jahiliah ini kemudian memeluk Islam dan sudah berpoligami, sehingga harus tunduk kepada aturan Islam yang hanya membatasi poligami sampai empat isteri saja.
    Menanggapi masalah poligami ini berkembang berbagai pendapat di berbagai kalangan. Masyarakat Barat (Eropa dan Amerika Serikat) berdalih bahwa sistem poligami akan membuat pertentangan dan perpecahan antara suami dan isteri serta anak-anaknya. Kondisi seperti ini pula yang mengakibatkan tumbuhnya perilaku yang buruk pada anak-anak. Mereka juga berpendapat bahwa poligami akan mengikis kemuliaan perempuan. Menurut mereka, perempuan tidak dapat merasa memiliki hak dan kemuliaan, jika ia masih merasa bahwa orang lain juga memiliki hati, cinta, dan kasih sayang suaminya. Seorang isteri senantiasa menginginkan agar suami menjadi milik satu-satunya, sebagaimana juga suami berhak menjadikan isteri milik satusatunya tanpa yang lain. [3]
    Pandangan Barat seperti di atas tidak lepas dari background agama yang dianut di Barat. Mayoritas masyarakat Barat menganut agama Nasrani (Kristen/Katolik). Agama Nasrani menurut penganutnya melarang poligami. Sebenarnya tidak ada satu pernyataan dalam kitab suci Injil bahwa Yesus melarang poligami. Umat Kristen pada awalnya banyak yang melakukan poligami dengan mengikuti tradisi Yahudi. Dalam kitab suci Kristen dijelaskan bahwa Raja Sulaiman memiliki 100 isteri, puteri-puteri mahkota, dan 300 gundik (Raja-raja 9:16, 11:3). Anak laki-lakinya, Raja Daud, memiliki 18 isteri dan 60 orang gundik (Tawarikh 2, 11:21). Talmud memberi nasihat agar setiap laki-laki tidak menikah lebih dari 4 isteri, yakni jumlah isteri yang dimiliki Yaqub. Tidak ada konsili gereja pun pada abad-abad pertama menentang poligami. Pada tahun 1531 para penganut (sekte Kristen) Anabaptis secara terang-terangan menyatakan bahwa orang Kristen yang sejati harus memiliki beberapa orang isteri.[4]

    Implikasai Terhadap Penggalian Hukum
    Hukum Islam secara prinsip tidak mengharamkan (melarang) poligami, tetapi juga tidak memerintahkan poligami. Artinya, dalam hukum Islam poligami merupakan suatu solusi yang ditetapkan sebagai jalan keluar untuk mengatasi adanya problem tertentu dalam suatu keluarga (rumah tangga). Sesuai dengan dua prinsip hukum Islam yang pokok, yakni keadilan dan kemaslahatan, poligami dapat dilakukan ketika terpenuhinya kedua prinsip tersebut. Poligami harus didasari oleh adanya keinginan bagi pelakunya untuk mewujudkan kemaslahatan di antara keluarga dan juga memenuhi persyaratan terwujudnya keadilan di antara suami, para isteri, dan anak-anak mereka. Dengan demikian, jika poligami dilakukan hanya sekedar untuk pemenuhan nafsu, apalagi hanya sekedar mencari prestasi dan prestise di tengah-tengah masyarakat yang hedonis dan materialis sekarang, serta mengabaikan terpenuhinya dua prinsip utama dalam hukum Islam tersebut, maka tentu saja poligami tidak dibenarkan.
    Menurut kacamata Islam, budaya pop yang telah subur merambah pada tatanan masyarakat pra Islam adalah suatu bentuk kelumrahan yang dalam kacamata Islam normatif dianggap tidak menuai kemaslahatan. Hal ini dibuktikan dengan turunnya surat An-Nisa ayat 3 yang menghapuskan budaya tersebut. Perilaku ini terjadi akibat pengaruh otoritas kekuasaan ataupun gaya hidup materialisme peradaban yang telah maju. Untuk itulah Islam datang membawa sebuah aturan ataupun hukum yang bertujuan untuk membatasi kesewenang-wenangan dalam pernikahan. Untuk mewujudkan sistem pernikahan yang maslahat dan sempurna.
    Dari sinilah jelas bahwa disyariatkannya poligami juga demi kemaslahatan manusia. Karena itu, siapa pun boleh melakukan poligami selama kemaslahatan itu bisa diwujudkan. Namun, jika kemaslahatan itu tidak bisa terwujud ketika orang melakukan poligami, maka poligami tidak boleh dilakukan. Persyaratan yang ditentukan oleh al-Quran (seperti keharusan berlaku adil) dan juga berbagai ketentuan yang ditetapkan oleh para ulama tentang poligami harus kita pahami sebagai upaya untuk mewujudkan kemaslahatan dalam pelaksanaan poligami. Penulis tidak setuju dengan praktik poligami yang hanya sekedar untuk kesenangan belaka atau untuk mempermainkan perempuan, seperti yang ada pada budaya populer kala itu.

    DAFTAR PUSTAKA

    John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, (Yogyakarta : Jalan Sutera, 1996).
    Nashiruddin ‘Itr, Hak dan Kewajiban Perempuan: Mempertanyakan Ada Apa dengan Perempuan, (Yogyakarta:Bina Media Cet I, 2005 ).
    Jamilah Jones dan Philips, Monogami dan Poligami dalam Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 1996).
    Marzuki, Poligami dalam Hukum Islam,




    [1] John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, (Yogyakarta : Jalan Sutera, 1996), hlm 5.
    [2] Ibid, hlm 6.
    [3] Nashiruddin ‘Itr, Hak dan Kewajiban Perempuan: Mempertanyakan Ada Apa dengan Perempuan, (Yogyakarta: Bina Media Cet I, 2005 ), hlm. 184
    [4] Jamilah Jones dan Philips, Monogami dan Poligami dalam Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 1996), hlm.  3.

  • You might also like

    No comments:

Search This Blog

Powered by Blogger.

About Me

My photo
Born in the late 20th century, when the country was shaken by shinobi (ninja). At that time the government was held by the shogunate.

Aku dan kataku

NATIONAL ANTHEMS OF QATAR: السلام الاميري | AS-SALĀM AL-ʾAMĪRĪ | PEACE TO THE AMIR

"as-Salām al-ʾAmīrī" (Arabic: السلام الأميري‎, Peace to the Amir) is the national anthem of Qatar, written by al-Shaykh Mubārak bi...