A. Pengertian, Dasar Hukum dan Pembagian Riba
Kata riba dalam bahasa Inggris diartikan dengan usury, yang berarti suku bunga yang lebih dari biasanya atau suku bunga yang mencekik. Sedangkan dalam bahasa Arab berarti tambahan atau kelebihan meskipun sedikit, atas jumlah pokok yang yang dipinjamkan.
Pengertian riba secara teknis menurut para fuqaha adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil baik dalam utang piutang maupun jual beli. Batil dalam hal ini merupakan perbuatan ketidakadilan (zalim) atau diam menerima ketidakadilan. Pengambilan tambahan secara batil akan menimbulkan kezaliman di antara para pelaku ekonomi. Dengan demikian esensi pelarangan riba adalah penghapusan ketidakadilan dan penegakan keadilan dalam perekonomian.
Di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah terdapat beberapa ayat yang membicarakan riba secara eksplisit di antaranya adalah:
- Surat Ali Imran (3) ayat 130:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” {QS. Ali Imran : 130}.
- Surat Al Baqarah (2) ayat 275:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telahdiambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” {QS. Al-Baqarah : 275}.
- Surat Al Baqarah (2) ayat 278 – 279
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” {QS. al-Baqarah: 278 – 279}.
- Hadis Nabi SAW:
Dari Jabir bin ‘Abdullah r.a.: “Rasulullaah SAW melaknat para pemakan riba, orang yang memberikan riba, pencatat transaksi riba, dan dua orang yang menjadi saksi riba.” Dan Rasulullaah SAW bersabda: “Mereka semua sama”. {HR. Muslim}.
Para ulama fiqih membagi riba menjadi dua yaitu:
- Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah adalah praktek hutang-piutang terhadap harta dan tempo masa yang telah ditentukan dengan adanya tambahan (ziyadah) sebagai ganti dari masa perpanjangan.
Wahbah Zuhaili sebagai berikut:
والخلاصة : ان ربَ النسيئة هو تَخير الدين فى مقابلة الزيَدة على مقداره الأصلى وهذا هو الربَ الجاهلية
“Kesimpulannya: riba nasi’ah ialah mengakhirkan pembayaran hutang dengan tambahan dari jumlah hutang pokok (dan ini adalah riba jahiliyah).”
- Riba Fadl
Riba Fadl yaitu transaksi yang mengandung unsur riba antara barang sejenis yang tidak diketahui kesetaraan (majhul al-tamatsul) dalam standar ukuran (miyar syar’i) pada saat transaksi. Artinya terdapat motif tambahan (ziyadah) pada salah satu komoditinya.
Berdasarkan kesepakatan ulama’ jenis barang ribawi dalam kategori riba fadl ada enam, yakni: emas, perak, gandum merah (burri), gandum putih (sya’ir), kurma, anggur dan garam. Sebuah hadits yang diambil sebagai dasar para ulama untuk menerankan riba:
Dari Ubadah, katanya “saya mendengar Rasulullah saw. melarang jual beli (hutang) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum putih dengan gandum putih, kurma dengan kurma, garam dengan garam, kecuali sama dengan seimbang. Barang siapa menambah atau meminta tambahan, ia telah melakukan riba.”
Setelah memperhatikan keenam jenis benda yang disebut dalam hadis itu, kesan para ulama berbeda-beda. Golongan Hanafiyah dan Hanabilah mendapat kesan bahwa emas dan perak merupakan simbol barang tambang dan keempat jenis benda yang lain merupakan simbol barang yang di takar. Golongan Malikiyah dan Syafi’iyah memperoleh kesan, bahwa emas dan perak menjadi uang, sedangkan keempat benda lainya menjadi simbol makanan. Artinya, bagi golongan pertama, hutang benda sejenis yang dapat ditimbang dan ditakar tidak boleh ada kelebihan ketika pelunasan atau pengangsuran. Bagi golongan kedua, kelebihan tidak boleh terjadi pada hutang benda sejenis yang berupa uang atau makanan (termasuk bahan makanan).
Bank adalah suatu badan yang bergerak di bidang jasa, sudah sewajarnya apabila setiap bank menginginkan adanya imbalan (keuntungan) atas jasa yang mereka sediakan. Melalui imbalan tersebut sebuah bank akan mampu mengembangkan dirinya dan menjamin eksistensinya di tengah-tengah para nasabahnya. Hanya saja, imbalan tersebut (yang kemudian disebut dengan istilah “bunga”) dalam prakteknya terkesan mengeksploitasi nasabah, khususnya dalam sistem kredit. Di mana setiap pinjaman kredit pasti disertai dengan persentase bunga, baik bunga modal maupun bunga jatuh tempo.
Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang status hukum riba dan bunga. Pertama, praktik pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw. yaitu riba nasî’ah. Dengan demikian, praktik pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya”; Kedua, praktik penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh bank, asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
NU melalui forum kajian Bahsul Masailnya telah mengaharamkan bunga bank, hal ini dikarenakan bunga bank disamakan dengan gadai yang digunakan pada zaman jahiliyah, jika pemilik barang gadai tidak bisa membayar uang pada waktunya, maka barang gadaiannya lepas dari pemiliknya dan menjadi milik penggadai dan hal ini telah ditetapkan hukumnya dalam Mu’tamar II tahun 1927 di Surabaya.
Dalam masalah bunga bank ini terdapat tiga pendapat dari para ahli hukum (ulama):
- Haram: Karena termasuk barang yang dipungut manfaatnya (rente).
- Halal: Sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sebab menurut para ahli hukum terkenal, bahwa adat yang berlaku itu tidak termasuk menjadi syarat
- Syubhat: (tidak tentu halal-haramnya)
Sedangkan mu’tamar memutuskan, bahwa yang lebih hati-hati adalah pendapat mu’tamirin yang pertama yakni mengaharamkan adanya bunga dalam dunia perbankan.
Mu’tamar Majlis Tarjih Muhammadiyah setelah mempelajari uraian tentang masalah bunga bank dalam segala seginya yang disampaikan oleh Nandang Komar, Direktur Bank Negara Indonesia Unit 1 Cabang Surabaya. Menetapkan bahwa:
- Riba hukumnya haram, dengan nash sharih al-Qur’an dan as- Sunnah.
- Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.
- Bunga bank yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.
- Menyarankan kepada PP. Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
Yûsuf al-Qaradhawi mengatakan bahwa pengharaman riba dalam al-Qur’an tidak membutuhkan penjelasan, tidak mungkin Allah mengharamkan sesuatu kepada manusia yang tidak mereka ketahui bentuknya. Segala kelebihan dari modal adalah riba, sedikit maupun banyak. Setiap tambahan dari modal yang disyaratkan atau ditentukan di awal, semata dikarenakan adanya unsur tenggang waktu adalah riba.
Sedangkan Wahbah az-Zuhaylî dalam kitab Mas'adi mengkategorikan bunga bank sebagai riba nasî’ah, karena merupakan kelebihan atau tambahan yang dipungut dengan tidak disertai imbalan, melainkan semata-mata karena penundaan tenggang waktu pembayaran.
Pandangan Mustafâ Ahmad al-Zarqâ’, guru besar hukum Islam dan hukum perdata Universitas Syiria. Selain masih mentolerir eksistensi bunga bank karena darurat, ia juga memberi alternatif dan mendukung keberadaan bank syari’ah. Menurut dia, sistem perbankan yang kita terima sekarang ini merupakan realitas yang tak dapat dihindari. Karena itu umat Islam boleh bermuamalah dengan bank konvensional itu atas pertimbangan dalam keadaan darurat. Akan tetapi umat Islam harus berusaha mencari jalan keluar dengan mendirikan bank tanpa sistem bunga untuk menyelamatkan umat Islam dari cengkraman bank bunga (bank konvensional).
Mahmoud Syaltout dalam kitab Salam yang mengemukakan bahwa kemajuan peradaban manusia telah menimbulkan aktivitas perekonomian baru dan jenis transaksi baru (bank). Selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinnsip yang baik menurut tuntutan shara’, yaitu tidak ada praktek eksploitasi, maka hal itu dapat dibenarkan.
Menurut pemahaman Adiwarman Karim, praktisi perbankan Islam yang sangat concern mengembangkan konsep ekonomi Islam dan perbankan syari’ah. Ia mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Muslihun bahwa bunga bank masuk dalam kategori riba nasî'ah. Sebab keberadaan bunga disebabkan adanya perbedaan kualitas, perubahan waktu atau tambahan jumlah antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Jadi, al-ghurm (untung) muncul tanpa adanya al-ghurm (resiko), sementara hasil usaha (al-kharaj) muncul tanpa adanya biaya (daman). Artinya, untung dan hasil usaha muncul hanya karena berjalannya waktu. Padahal dalam bisnis, selalu ada kemungkinan untung dan rugi.
Abdul Mannan mengatakan bahwa jika terdapat perbedaan antara riba dalam al-Qur’an dengan bunga dalam bank konvensional, itu hanya perbedaan tingkat bukan jenis, sesungguhnya baik riba maupun bunga merupakan askes atas modal yang dipinjam. Menyebut riba dengan bunga tidak akan merubah sifatnya, yaitu adanya tambahan atas modal.
Adapun Syafi'i Antonio yang merupakan praktisi dan akdemisi ekonomi Islam di Indonesia, terkait dengan bunga bank, mengatakan bahwa kriteria berlipat-ganda bukanlah syarat terjadinya riba, tapi itu hanya sifat. Artinya, besar atau kecil, bunga bank tetap riba, sebab sifat umum riba adalah berlipat ganda.
Munawir Sadzali menyatakan bahwa usaha bank adalah menjalankan dana nasabah yang disimpan di bank, kemudian dana tersebut dipinjamkan ke nasabah yang kekurangan dana. Di mana kebanyakan orang yang meminjam di bank untuk keperluan modal usaha, bukan kebutuhan konsumtif. Tentunya tidak adil jika penabung dan pihak bank sebagai mediator tidak mendapatkan imbalan dari pengorbanan penabung dan jasa yang telah dilakukan bank. Lagi pula sistem bunga yang diterapkan oleh perbankan merupakan sistem bunga yang sehat.
Umar Shihab menyatakan bahwa tidak sepantasnya bunga bank diharamkan, sebab tujuan dan metode pelaksanaan bunga jauh berbeda dengan riba pada masa jahiliyah yang telah diharamkan dalam al-Qur’an. Beliau memberikan empat alasan mengapa bunga bank dihalalkan. Pertama, jumlah bunga yang dipungut dan diberikan bank kepada nasabah jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan riba yang berlaku pada zaman jahiliyah; Kedua, pemungutan bunga tidak akan membuat bank atau nasabah memperoleh keuntungan besar dan kedua belah pihak (bank dan nasabah) tidak akan merasa dirugikan dengan pemberian bunga; Ketiga, tujuan peminjaman yang dilakukan nasabah untuk keperluan produktif, sedangkan riba pada zaman jahiliyah untuk keperluan konsumtif; Keempat, adanya kerelaan kedua belah pihak yang bertransaksi. Bunga bank identik dengan jual beli yang didasari atas suka sama suka (antarădhin) antara nasabah dan bank.
Pendapat Raharjo bahwa bank sebenarnya adalah modus untuk melaksanakan lembaga bay' (jualbeli), tijârah (niaga) secara suka rela, dan pencegahan sifat riba, yang adh'âfan mudhâ'afah. Sehingga dalam operasionalnya, minimal sebagai perantara, bank membutuhkan komisi, yang pengaturannya ditentukan dan dipantau oleh pemerintah melalui Bank Central. Dengan demikian, bank adalah jalan keluar dari praktek riba karena unsur yang mengharamkan riba, yaitu mengandung paksaan, berlipat ganda dan adanya syarat yang memberatkan, seperti tingkat bunga yang terlampau tinggi, telah hilang dengan adanya peraturan perbankan dan campur tangan pemerintah dalam memantau dan menetapkan aktivitas perbankan.
Kredit dalam bahasa latin di sebut Credere yang artinya percaya. Maksudnya si pemberi kredit percaya kepada si penerima kredit, bahwa kredit yang di salurkan pasti akan di kembalikan sesuai perjanjian.
Pengertian kredit menurut Undang-Undang Perbankan nomor 10 tahun 1998, “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Istilah kredit didefinisikan sangat beragam. Hasan Alwi dalam bukunya Kamus Bahasa Indonesia Edisi II, mengatakan bahwa kredit adalah cara menjual barang dengan pembayaran secara tidak tunai (pembayaran ditangguhkan atau diangsur). Tentang kredit ini, Murtadla Muthahhari mengatakan bahwa transaksi secara kredit pada hakikatnya adalah mengambil manfaat dari keadaan terdesak. Sedangkan yang dimaksud dengan pembelian dengan cara kredit adalah suatu pembelian yang dilakukan terhadap sesuatu barang pembayaran harga barang tersebut dilakukan secara berangsur-angsur sesuai dengan tahapan pembayaran yang telah disepakati kedua belah pihak (pembeli dan penjual).
Hukum jual beli secara kredit (bai’ taqshith) pada hakikatnya adalah boleh, karena Rasulullah SAW sendiri pernah mempraktikannya. Praktik transaksinya merupakan transaksi tabarru’, yaitu semata dimaksudkan untuk kebutuhan sosial dan tolong menolong.
Dewasa ini, praktik jual beli kredit di sejumlah lembaga pembiayaan/lembaga perkreditan dilakukan melalui dua model, yaitu:
- Kredit disertai dengan uang muka (Down Payment/DP).
- Harga barang ditentukan di awal. Uang muka yang berasal dari pembeli dan/atau berasal dari subsidi secara tidak langsung menjadi bagian dari modal/saham pembeli terhadap aset.
- Besaran harga sewa ditentukan di awal dan dibagi menurut porsi kepemilikan kedua pihak yang berserikat terhadap aset yang disewakan.
- Harga sewa semakin menurun seiring angsuran terhadap harga pokoknya. Dan apabila tidak ada penurunan harga sewa, maka akad musyarakahnya menjadi fasidah (rusak), sedangkan selisih uangnya bisa disebut sebagai riba.
- Kredit dengan DP 0%
- Ketiadaan uang muka (down payment)
- Harga barang ditentukan di muka dan biasanya lebih mahal dari harga pembelian secara kontan
- Cicilan pembayaran memiliki jumlah tetap dari awal hingga akhir waktu angsuran.
- Ada kesepakatan lama angsuran, misalnya diangsur 2 kali selama satu tahun, 3 kali, dan atau bahkan setiap bulan. Karena besar angsuran yang tetap ini, maka jual beli semacam ini sering diistilahkan dengan bai’ taqshith, bai’ muajjalan atau bai’ bi al-tsamani al-ajil. Masing-masing akad, hukumnya boleh dilakukan, karena masuk kategori akad tabarru’ dan ta’awun (sosial).
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku:
Santi Purna Ma’had Aly al-zamachsyari, Metodologi Ayatul Ahkam Paradigma Konsep Fiqih dalam Kajian Ayatul Ahkam, (Malang: Yayasan Pondok Modern al-Rifa’ie bekerjasama dengan Lirboyo Pers, 2015).
Referensi Artikel:
Abdul Salam, Bunga Bank dalam Perspektif Islam (Studi Pendapat Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah), Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, Volume 3, No. 1 (2013).
Efa Rodiah Nur. Riba dan Gharar: Suatu Tinjauan Hukum dan Etika dalam Transaksi Bisnis Modern. Jurnal AL-ADALAH. Vol. XII, No. 3. (2015).
Muhammad Syarif Hasyim, Bunga Bank: Antara Paradigma Tekstual dan Kontekstual, Jurnal Hunafa Vol. 5, No. 1, (2008).
Syahruni Usman, Bunga Bank dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal Tahkim, Vol. 10, No. 1 (2014).
Ummi Kulsum, Riba dan Bunga Bank dalam Islam (Analisis Hukum dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Umat), Jurnal Al-‘Adl, Vol. 7 No. 2. (2014).
Referensi Website:
Fakhriyani dalam https://portalnulis.blogspot.com/2017/10/makalah-jual-beli-dengan-sistem-kredit.html diakses pada 21 April 2019 Pukul 19:38 WIB.
Muhammad Syamsudin dalam http://www.nu.or.id/post/read/86652/hukum-kredit-perumahan-rakyat-dan-kendaraan-bermotor diakses pada 21 April 2019 Pukul 20:02 WIB.
No comments:
Post a Comment